Rondeaktual.com – Aku harus menyebut Juhari sebagai “Legenda Kelas Ringan Indonesia” yang tak terbantahkan. Kera Ngalam (jika dibaca dari belakang) adalah sebutan bagi mereka yang berasal dari Malang atau Arek Malang.
Juhari lahir di Malang, Jawa Timur, 1 Januari 1958, meninggal dunia karena sakit di Malang, Jumat, 17 Juli 2020, dalam usia 62 tahun.
Sebagai legenda, Juhari telah mencetak rekor petinju pertama dan satu-satunya yang pernah tiga kali merebut sabuk juara Indonesia kelas ringan sampai tiga kali.
REKOR 3 KALI JUARA
1. GOR PULOSARI MALANG, 19 DESEMBER 1982:
Juhari merebut sabuk juara Indonesia kelas ringan, menang angka 12 ronde atas juara Kay Siong (Sawunggaling Surabaya).
2. GEDUNG GO SKETE SURABAYA, 1 MARET 1988:
Juhari merebut sabuk juara Indonesia kelas ringan yang sedang lowong, menang angka 12 ronde atas Bisenti Santoso (Mandiri Camp, tanpa sasana).
3. LAPANGAN RAMPAL PASAR MALAM MALANG, 4 AGUSTUS 1990:
Juhari merebut sabuk juara Indonesia kelas ringan yang sedang lowong, menang angka 12 ronde atas Abraham (Jakarta).
Juhari bukan orang pertama di kelas ringan. Sebelumnya ada juara kelas ringan cukup terpandang seperti Than Kok Liem (Surabaya), Jimmy Sinantan (Taman Tirta Surabaya, sekarang kembali ke Bandung), dan Kay Siong (Sawunggaling Surabaya).
Setelah Juhari mengalahkan Kay Siong, manajer Gajayana Malang Harsono Poespoasmoro yang menjabat Kepala Pasar Kota Malang, langsung mengorbitkan Juhari perebutan gelar OPBF kelas ringan.
Juara asal Filipina, Rolando Aldemir bertarung melawan Juhari dan tumbang knock out pada ronde keenam dihantam straight penantangnya di GOR Pulosari Malang, 16 Oktober 1983.
Juhari berusia 25 tahun ketika merebut sabuk OPBF kelas ringan dan mendapat hadiah rumah di Perumahan Sri Kandi, Malang, yang sampai akhir hayatnya dipertahankan sebagai tempat kediamannya.
Setahun kemudian dan sudah berusia 26 tahun, Juhari dinyatakan lulus SMEA. Ijazah tersebut sangat membantunya untuk memperbaiki status kepegawaiannya di Pemda Malang.
Menjadi juara OPBF, Juhari harus melepas gelar juara Indonesia. Gelar OPBF sekali dipertahankan dengan hasil imbang 12 ronde melawan veteran Australia, Barry Michel di Istora Senayan Jakarta, 14 April 1984.
Sehari kemudian atau Minggu pagi dalam siaran Dari Gelanggang ke Gelanggang TVRI, pertandingan Juhari-Michael ditayangkan secara nasional. Promotor Herman Sarens Soediro membayar Juhari Rp 15 juta plus tiga tiket Surabaya-Jakarta-Surabaya.
Keputusan imbang membuat kubu Australia mengamuk. Wasit asal Filipina, Valdez, dituding cenderung menolong Juhari, dikejar-kejar di atas ring dan dilempar dengan handuk putih yang dipakai untuk melap anaknya di interval setiap ronde. Bule yang melempar handuk tadi adalah ayah Barry Michael, yang menjadi pelatih.
Setelah mempertahankan gelar, Juhari kehilangan gelar ketika berhadapan selama 12 ronde melawan penantang asal Filipina, Jonjong Pacquing, yang berlangsung di Gedung Go Skate, Jalan Embong Malang, Surabaya, 23 September 1984. Salah satu partai tambahan adalah kejuaraan Indonesia kelas terbang ringan, Yani Hagler (Sawunggaling Surabaya) menang angka 12 ronde atas juara Iwan Tubagus Jaya (Garuda Jaya).
Sepanjang karir tinju Juhari, aku hampir senantiasa berada di sekitar ring, baik di Malang, Surabaya, dan Jakarta, kecuali untuk pertandingan amatir. Ketika itu seluruh pertandingan Juhari selalu dimuat di Tinju Indonesia, majalah tinju satu-satunya.
Selain petinju pro, Juhari adalah petinju amatir. Juhari pernah merebut medali perunggu kelas ringan Kejurnas Ujungpandang 1981. Juhari tidak kalah, tetapi mengundurkan diri di semifinal. Ketika itu seluruh petinju Jawa Timur menolak pertandingan sebagai bentuk protes terhadap keputusan wasit/hakim yang dianggap sangat buruk.
Pulang dari Kejurnas Ujungpandang, Juhari yang terkenal dengan jab-straight serta hook kanan, memilih tinju pro dan juara.
KE JAKARTA BERSAMA YANI HAGLER
Lima tahun yang silam, Juhari yang merupakan perokok berat yang telah merusak paru-parunya, pernah datang ke Jakarta bersama kidal buatan Yani Hagler.
Sebagai kawan, aku mengantar Juhari dan Yani Hagler ke kantor Kemenpora untuk mengurus persyaratan mendapat hadiah rumah.
Tetapi, itu merupakan usaha yang sia-sia. Sebab sejak Adhyaksa Dault tidak lagi menjabat Menpora, pemberian rumah atau uang tunjangan hari tua bagi atlet yang berprestasi sudah dihentikan.
Meski tahu bahwa usaha keduanya akan sia-sia, aku tetap mendampingi Juhari dan Yani Hagler sampai mengantar mereka ke Stasiun Senen menuju pulang ke Malang.
Di hari-hari terakhir tidak ada lagi komunikasi dengan Juhari, sampai kepergiannya untuk selama-lamanya.
Tadi malam adik almarhum, Ryantoha, mengirim kabar duka Mas Ju telah meninggalkan kita semua.
Selamat jalan Mas Ju. Perjalanan karir tinjumu yang panjang dan sangat bersejarah bagi kelas ringan Indonesia tak akan mudah lekang oleh waktu.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridayasakti, Jawa Barat.