Rondeaktual.com
Monod, 67 tahun, merupakan satu-satunya petinju Malang paling brutal. Tidak ada petinju seganas Monod. Dia satu-satunya. Semua lawan dikejar dan dipukuli sampai habis.
Meski tercatat sebagai petinju paling brutal di dalam ring, di luar ring Monod tetap bersahabat. Dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Rendah hati.
“Saya ikut tinju sudah puluhan tahun. Dari tinju kembali ke tinju. Dulu petinju. Sekarang wasit/hakim. Artinya, saya ini tetap berada dalam keluarga tinju,” kata Monod, domisili di Tunjungtirto RT 01 RW 08, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
“Saya sekarang sedang dalam perjalanan menuju Solo. Ada pertandingan tinju Kejuaraan Indonesia sabuk ATI,” kata Monod.
Pertandingan yang dimaksud Monod adalah Kejuaraan Indonesia kelas bantam 10 ronde antara Ricky Manufoe (Manufoe Team Boxing Camp Solo) melawan Adam Wijaya (Lembata Boxing Camp Jakarta) dan Kejuaraan Indonesia kelas welter yunior 10 ronde antara Alpius Maufani (Dumas Boxing Camp Sleman) melawan Gusti Elnino (El Nino Boxing Camp Jakarta). Pertandingan merupakan bagian dari “Jateng Combat Fest” di Gedung Olahraga Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah, Rabu, 24 Juli 2024.
“Saya sudah keluar dari KTI (Komisi Tinju Indonesia). Saya bergabung dengan ATI (Asosiasi Tinju Indonesia). Ikut KTI tidak bisa maju. KTI hanya mementingkan orang-orang yang tinggal di Jakarta. Wasit/hakim daerah seperti saya dan kawan lainnya, tidak pernah direspon. Seharusnya KTI merata. Jangan mendominasi. Wasitnya dia lagi dia lagi, seperti sudah tidak ada yang lain,” sindir legenda tinju kelas bulu yunior ini.
Monod, selama bertahun-tahun, setia bersama KTI, termasuk mengamankan suara untuk memenangkan Anthon Sihombing dalam pemilihan ketua umum.
“Saya sudah enam kali wasit/hakim. Terakhir wasit pertandingan ATI di Kediri, November 2011. Menerima honor dua juta dari promotor. Tapi biasanya, wasit/hakim itu tidak 100% melihat besarnya uang. Ini hobi, yang bisa membuat kita bertemu dengan orang-orang tinju. Jumpa kawan lama dan itu sangat berharga.”
Menjadi seorang wasit/hakim yang kuat, menurut Monod harus menguasai olahraga tinju. Rajin baca agar tidak tertinggal regulasi.
“Saya pernah ikut penataran yang diselenggarakan oleh BP2OPI (sudah dibekukan pemerintah) di Jakarta. Semua harus melalui proses dan itu sudah saya lakukan. Kalau menjalankan tugas wasit/hakim harus berani jujur. Tidak boleh berpihak. Hanya ada dua pemenang, sudut merah atau sudut biru. Tidak ada istilah kedekatan,” kata Monod, yang di masa mudanya pernah menjadi loper koran. Usaha koran tumpur dan dihentikan.
Monod lahir di Blitar, 8 Januari 1957, besar di Malang. Monod, sampai sekarang, menjadi satu-satunya petinju yang pernah tiga kali merebut gelar juara Indonesia kelas bulu yunior. Pertama, mengalahkan Ronny Kataibekary dari Robert Jatayu Pucang Boxing Camp Surabaya. Kedua, mengalahkan Nurhuda dari Javanoea Malang. Ketiga, mengalahkan Robby Rahangmetan dari Pirih Surabaya, di atas kolam renang yang ditutup dengan papan dan terpal.
Ayah dari lima anak ini (semua laki-laki) terlihat awet muda. Hidup tidak merokok. Tidak minum alkohol. Tidak begadang. Di usia 67 tahun seperti sekarang, Monod terlihat seperti umur 50-an.
Dari tinju termasuk pertandingan di Australia, Thailand, Korea, Monod bisa memiliki rumah yang cukup besar di Singosari. Ia juga memiliki pekerjaan yang menghasilkan uang lebih dari cukup. Monod sangat dipercaya menjaga beberapa tempat usaha, seperti pompa bensin, mini market.
Monod dibesarkan oleh Arema Malang, salah satu sasana tinju pertama yang didirikan oleh mendiang Tjipto Moerti. Monod juga dibimbing oleh pelatih Tan Hwa Swui, atau dikenal sebagai Hadi Subroto.
Awal 1990 merupakan masa sulit bagi Monod. Ia tidak memiliki sasana dan harus latihan sendiri di pinggir jalan, sampai akhirnya bertemu bos tinju Javanoea Malang, Eddy Rumpoko (almarhum).
Setelah gabung Javanoea Malang di daerah Anjasmoro, Monod bisa bertemu dengan legenda tinju Jawa Timur, Wongso Suseno yang menjadi pelatih ketiganya. Monod juga bertemu dengan mantan musuh besarnya Nurhuda, yang akhirnya menjadi dua sahabat kuat. Monod tiga kali bertanding kejuaraan Indonesia melawan Nurhuda, dengan hasil menang-kalah-draw 1-1-1.
Sepanjang 15 tahun karir tinju pronya yang panjang, Monod tidak pernah merebut gelar internasional. Dua kali kejuaraan OPBF di Korea dan di Surabaya, dua kali gagal. Berdarah-darah akibat benturan sengaja oleh lawan. Monod hanya mencetak rekor tiga kali merebut gelar juara Indonesia kelas bulu yunior. Rekor ini tak akan terkejar.
Monod bertubuh gempal dan tak sampai 160 sentimeter, selalu bertarung gong to gong fighter. Monod dicetak oleh pelatih pertamanya sebagai penyerang sejati. Pantang mundur.
Monod memiliki sejumlah talenta. Setelah pensiun dari tinju, Monod aktif organisasi. Sedikit ikut-ikutan di politik. Ia pernah sebagai pembawa acara tinju, dalam konferensi pers yang di gelar di Malang. Monod bisa membawakan acara dengan baik, tanpa harus overacting berteriak-teriak.
Tentang pertandingan tinju, salah satu pengalaman paling diingat adalah Australia.
“Di Australia, saya menang KO ronde pertama,” kenangnya. “Itu di luar dugaan. Tidak ada orang yang menyangka kalau petinju Indonesia bisa menang KO di Australia. Bagi saya, bisa menghabisi petinju Australia di Australia, itu sesuatu yang sangat spesial. Hanya satu ronde, lawan mendapat hitungan sampai sepuluh. Wasit menyatakan lawan saya itu KO.”
Petinju Australia yang dihentikan Monod pada ronde pertama adalah Glen Walsh, yang terjadi di Broadmeadows Town Hall, Melborne, Australia, April 1982.
Promotor Australia seperti tidak percaya. Monod kembali didatangkan ke Australia dan sengaja dipertemukan dengan Paul Ferrari, salah satu contenders terbaik.
Monod kalah angka mutlak. Tetapi, sepanjang sepuluh ronde kelas bulu yunior, Monod mampu memberikan perlawanan hebat. Kalah terhormat.
Monod pernah mengalahkan antara lain; Sandy Noora (Thailand, di Malang), Santi Donjade (Thailand, di Malang), Moris Pastor (Filipina, di Jakarta), Somboonyod Singsamang (Thailand, di Jakarta), Hyun-je Hwang (Korea, di Surabaya), Eddy Gommies, Boy Pakekong, Nurhuda (saling mengalahkan dan sekali draw), Robby Rahangmetan (tiga kali bertemu 2-1 untuk Monod), Pulo Sugar Ray (saling mengalahkan), Daud Jordan, Boy Kelung, Yohanes Matahelemual, Cheppy Holmand (saling mengalahkan), Supriyadi Malang, Oki Abibakrin.
Monod menutup karir tinjunya yang panjang dengan pahit. “Saya datang ke Surabaya (Gedung Go Skate) dan kalah dalam pertandingan kelas ringan delapan ronde melawan anak muda Joseph Venedy dari Sawunggaling Surabaya. Itu pertarungan beda umur. Saya sudah 36 waktu itu. Saya pikir cukuplah. Untuk apa lagi diteruskan. Saya memilih pensiun. Alhamdulillah, sampai sekarang sehat. Saya setiap hari bergerak. Bekerja, berpikir, dan sebentar lagi menjalankan tugas wasit/hakim dari ATI. Kurang lebih, itu yang membuat saya sehat. Hidup tanpa obat-obatan.” (Finon Manullang)