Rondeaktual.com
Penulis dua kali bertemu dengan southpaw Yani Malhendo, 55 tahun. Pertemuan terjadi di pinggir ring, di Surabaya dan di Malang. Yani adalah mantan juara Indonesia dua kelas; kelas terbang ringan dan kelas terbang. Yani juga mantan juara IBF Intercontinental kelas terbang ringan dan mantan juara WBC International kelas bantam yunior.
Di Malang, penulis sambil menikmati baso dan sosis bakar dan sambil menunggu pertandingan tinju pro berlangsung di arena terbuka di Simpang Balapan, Ijen, Yani bercerita tidak tentang karir tinjunya yang panjang. Tidak mengungkit pertandingannya yang pernah berdarah-darah di Jawa Timur. Yani lebih banyak menumpahkan isi hatinya tentang perjuangannya mengantar sang putri sampai sarjana.
Secara spesial pria kidal ini sengaja menyinggung hubungannya yang tidak pernah putus dengan manajernya Eddy Pirih dan keluarga; Tris Pirih, Ivan Pirih, Mona Pirih, dan Erick Pirih.
“Alhamdulillah, selesai juga sarjananya,” kata Yani tentang putrinya, Shania Kartika Dewi Malhendo, 23 tahun. “Dia saya kuliahkan ketika saya sudah tidak main tinju lagi dan tidak punya pekerjaan. Tetapi itulah rezeki, ada saja.”
Yani Malhendo, salah satu petinju paling berhasil dari Pirih Boxing Camp Surabaya, yang didirikan oleh mendiang Eddy Pirih pada tahun 1981. Yani satu-satunya murid Pirih Surabaya yang tetap setia terhadap manajernya Eddy Pirih, meski sudah lama tiada. Yani selalu menjaga kehormatan sasana Pirih dan menjaga hubungannya dengan keluarga manajernya.
“Belum lama, saya ke sana (Jalan Nginden Kota, Bratang, Surabaya, rumah Keluarga Eddy Pirih). Saya duduk di ruang meja makan dan bertemu Ibu (istri mendiang Eddy Pirih). Ibu sangat terharu dan menangis memandangi saya. Saya dikasih uang, yang sudah dimasukkan ke dalam amplop. Saya tidak tahu berapa nilainya, karena tidak saya buka, tapi tebal. Ibu bilang, itu buat anakmu, bukan buat kamu. Ibu bangga sama kamu, berhasil mengantar anakmu sampai sarjana. Jaga dia baik-baik. Itu pesan Ibu, terima kasih.”
Yani Malhendo meneruskan curhatannya: “Ibu pernah bilang, kalau ada apa-apa, bilang sama Ibu.”
Sesulit apa pun kehidupan, Yani tetap kuat dan tidak cengeng. “Saya tidak pernah meminta. Ibu kasih ya saya terima.”
Di rumah peninggalan Eddy Pirih, menurut Yani Malhendo, masih ditempati istrinya dan anak tertua Ivan Pirih bersama istri dan anaknya. Kolam renang yang dulu berjarak lima meter dari ring tinju, sudah ditutup. Sudah jadi taman. Ring tinju masih utuh.
Sementara, rumah Erick Pirih (anak bungsu) juga di sana,tidak jauh ring tinju, lengkap dengan kolam renang. Tanah itu, dari dulu, memang sangat luas.
Yani sendiri memiliki tanah yang sudah dikapling-kapling. “Saya dulu diajarkan oleh Bapak (Eddy Pirih) sudah pandai menabung. Uang bertanding dari Filipina yang batal melawan Manny Pacquiao dan hasil tanding di Jepang, dan yang lain, saya belikan tanah.”
Yani membeli tanah kosong tidak sampai seratus juta. Beberapa tahun kemudian, atau sekarang, tanah kosong itu sudah bernilai miliaran. Untung besar.
“Di saat kekurangan uang untuk menutup biaya kuliah anak, saya jual satu kapling. Uang dari jual tanah itulah yang saya pergunakan untuk hidup, termasuk kuliah dan sekolah anak.”
Tanah Yani Malhendo yang sudah dikapling di pinggir kota Surabaya, katanya sudah ada pemiliknya. “Sudah saya kasih untuk anak. Masing-masih dapat. Saya bagi rata. Sebagian tanah saya, saya gratiskan untuk jalan umum. Sehingga orang tidak lagi harus melewati jalan jauh ke belakang, tetapi sudah bisa potong jalan. Sangat bermanfaat bagi banyak orang.”
Dari hasil pernikahannya dengan Sri Handayani Syampini, Yani dikarunia tiga anak.
“Tiga anak saya semua perempuan, mulai yang besar Shania, Wanda sudah kerja, dan Aura Ramadhani di SMP. Masih panjang perjalanan yang harus saya lewati, sebagai ayah.”
Tentang Shania Kartika Dewi Malhendo, menurut Yani, putrinya cerdas dan disiplin dalam hidup. Sekarang sedang ikut les kekuatan fisik.
“Shania lahir di Surabaya, 25 Mei 2000. Kuliah di STIKES Hang Tuah Surabaya. Empat tahun harus saya lewati sampai akhirnya dia berhasil menyelesaikannya dengan baik sebagai sarjana perawat,” kata Yani Malhendo, kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat, 8 September 1968.
MALANG-SURABAYA
Sebelum juara, Yani memulai karir tinju pronya di Malang dan diteruskan di Pirih Surabaya, sampai berhenti.
“Saya datang dari Bima. Saya cukup lama di sini (Malang), sebelum pindah ke Surabaya,” ujarnya.
Yani awalnya bertinju untuk Sidabalok Boxing Camp Malang. “Bapak (mendiang Kol CHB Felix Sidabalok) suruh kami tinggal di rumah Pak Eddy, temannya Bapak. Di rumah Pak Eddy di daerah Junrejo, Malang, ada Gill Roberto Santos kelas ringan yunior dan Manuel Duran kelas bantam. Tiga orang kami hidup di rumah Pak Eddy. Di mana sekarang Manuel Duran, saya tidak tahu. Kami hilang kontak. Kalau Gill sudah lama kembali ke Timor Timur (negara Timor Leste).”
Banyak yang sudah dicurhatkan Yani Malhendo, termasuk sang manajer yang pernah menghajarnya pakai kayu.
“Kalau Bapak (Eddy Pirih) marah, tidak pernah saya lawan. Saya pilih diam menunduk, karena saya anggap sudah seperti orangtua sendiri. Kami pernah tinggal di apartemen di Jepang. Bapak sedih, karena tidak biasa dengan makanan Jepang. Akhirnya saya buatkan makanan lengkap dengan tomat, bawang, dan bumbunya. Bapak bisa makan. Senang sekali. Sampai di rumah (Jalan Nginden Kota, Surabaya), Bapak cerita ke Ibu, kalau saya ternyata bisa masak.”
Bosan mendengar curhatan Yani Malhendo terus-menerus tak henti-hentinya, penulis bertanya: “Siapa saja mantan petinju Pirih dan di mana sekarang?”
“Wadoooh, lali aku. Maklum, petinju banyak kena pukul.”
Yani sudah terbiasa menjawab lupa jika ditanya masa lalu. Padahal, sebetulnya bukan begitu, melainkan malas saja untuk membuka memorinya.
“Pernah bertarung melawan Faisol Akbar?”
“Pernah, sampai lima kali,” jawab Yani, cepat sekali. “Si Jember, saya kalah kontroversial dua belas ronde dan kehilangan sabuk juara Indonesia kelas terbang ringan. Kami ulang lagi di Surabaya (bersama promotor A Seng). Dari lima kali pertandingan dengan Faisol, saya dua kali menang dan tiga kali kalah. Kedudukan 2-3. Dia unggul satu. Biarin saja, nggak apa-apa.Tidak ada dendam. Tinju memang begitu, kalau tidak menang ya kalah.”