Rondeaktual.com, Oleh Agan Aldi – Tepat hari ini, 49 tahun yang lalu, dunia tinju mengenang momen bersejarah yang terjadi pada 1 Oktober 1975, ketika Muhammad Ali dan Joe Frazier berhadapan dalam pertarungan Legendaris; Thrilla in Manila.
Itu merupakan pertemuan ketiga dan terakhir antara dua raksasa tinju kelas berat yang berlangsung di Araneta Coliseum, Quezon City, Filipina, 1 Oktober 1975.
Latar belakang pertarungan trilogi Ali-Frazier dimulai pada 8 Maret 1971, ketika mereka bertemu di Madison Square Garden. Frazier, saat itu adalah juara tak terkalahkan, berhasil mengalahkan Ali dalam apa yang dikenal sebagai “Fight of the Century.”
Pertemuan kedua mereka pada Januari 1974 berakhir dengan kontroversi, tetapi tidak ada yang bisa mempersiapkan dunia untuk pertarungan ketiga yang mendebarkan di Manila.
Sebagai pengantar ke Thrilla in Manila, Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, mengupayakan acara ini untuk menarik perhatian dunia ke Filipina. Sebelum pertarungan, Ali memanfaatkan
kemampuannya untuk merangkul media dan penggemar, menjuluki Frazier “The Gorilla” dan meramalkan bahwa pertarungan ini akan menjadi milik Ali. Mendapatkan gorilla di Manila.
Persiapan dan strategi sementara Ali mengandalkan taktik verbal dan mental, Frazier berlatih dalam lingkungan yang tenang di pegunungan, jauh dari hiruk-pikuk Manila. Pelatihnya, Eddie Futch, menyiapkan strategi untuk menyerang tubuh Ali, dia percaya bahwa melemahkan tubuh lawan adalah kunci untuk meraih kemenangan. Futch memperingatkan bahwa Ali sering menggunakan taktik ilegal, seperti mencengkeram belakang leher untuk menciptakan clinch, dan memastikan wasit Filipina, Carlos Padilla, dapat mengawasi pertarungan secara adil.
Di sisi Ali, keberhasilan didapat dengan memenangkan negosiasi terkait ukuran ring dan sarung tinju, yang memberinya keuntungan strategis dalam bergerak dan menyerang. Ali berencana
memanfaatkan kecepatan dan jangkauannya untuk menghantam Frazier di ronde-ronde awal.
Pertarungan yang mengubah sejarah. Thrilla in Manila dimulai dengan intensitas yang tinggi. Ali terlihat tajam dan cepat, memenangkan dua ronde pertama dengan serangan jab dan pukulan keras. Namun, seiring berjalannya waktu, Frazier mulai menemukan ritme, menghantam Ali dengan hook kiri yang mematikan.
Suasana di dalam ring sangat menyiksa, dengan suhu yang mendekati 49 °C, membuat pertarungan ini bukan hanya duel klasik, tetapi juga ujian ketahanan.
Ali mulai menggunakan strategi rope-a-dope, memanfaatkan tali ring untuk bertahan dan memberi kesempatan bagi Frazier untuk menghabiskan energi. Meski berhasil pada beberapa kesempatan, Frazier mendaratkan serangan-serangan yang menggetarkan dan membahayakan Ali.
Ronde demi ronde berlalu, dan pertarungan semakin brutal. Pada ronde ke-14, setelah Frazier tidak dapat melihat dengan jelas karena mata yang bengkak dan kelelahan, pelatihnya, Eddie Futch, meminta wasit untuk menghentikan pertarungan. Muhammad Ali dinyatakan sebagai pemenang, tetapi baik dia maupun Frazier menderita luka-luka yang sangat parah.
Pertarungan tersebut diingat sebagai salah satu yang paling brutal dan menegangkan dalam sejarah tinju.
Setelah pertarungan, Thrilla in Manila diakui secara luas sebagai salah satu pertarungan terbaik dalam sejarah tinju. Pertarungan ini tidak hanya menandai akhir dari trilogi Ali-Frazier, tetapi juga merupakan puncak dari rivalitas yang telah menjadi bagian dari sejarah olahraga.
Diperkirakan bahwa 1 miliar orang menonton pertarungan ini, dengan 100 juta pemirsa di televisi dan ratusan ribu pembelian bayar-per-tayang. (Agan Aldi, penulis tinju domisili Cilegon, Banten)