Rondeaktual.com – Mengapa judul tulisan ini Antara Johni Asadoma dan Komaruddin Simanjuntak? Mengapa bukan Antara Komaruddin Simanjuntak dan Johni Asadoma? Mengapa nama Johni Asadoma lebih dahulu disebut?
Begini. Saya memang sengaja menyebut nama Johni Asadoma terlebih dahulu baru kemudian menyebut nama Komaruddin Simanjuntak.
Mengapa?
Karena saya lebih dahulu mengenal Johni Asadoma baru kemudian mengenal Komaruddin Simanjuntak.
Saya mengenal Johni Asadoma ketika saya masih menangani Majalah Tinju Indonesia bersama nama besar mendiang Setijadi Laksono.
Itu pada 1984 di Surabaya. Johni datang bersama dua petinju top lainnya; Alexander Wassa dan Fransisco Lisboa. Orang yang membawa ketiga petinju asal Cakti Bali itu ke Surabaya adalah pelatih top Daniel Bahari. Kemudian Daniel Bahari memberi tahu melalui telepon di meja Redaksi Majalah Tinju Indonesia. “Gua di Surabaya, bawa Ciko (nama panggilan Fransisco Lisboa). Sore mau latihan bersama petinju pro di tempat Pak Eddy Pirih (pendiri dan pemilik Pirih Boxing Camp Nginden Kota Surabaya). Lu datang ya.”
Daniel kalau bicara dengan wartawan lebih suka menyebut dirinya sebagai gua dan lawan bicaranya sebagai lu. Asyik gaya persahabat yang diciptakan Daniel Bahari.
Daniel Bahari tidak pernah mengenalkan saya kepada Johni Asadoma. Tetapi, saya sudah mengetahui rencana kedatangan Tim Pelatnas Olimpiade Los Angeles 1984. Mereka membutuhkan petinju profesional untuk tujuan latih tanding.
Daniel Bahari satu-satunya pelatih nasional yang berani secara terbuka memberi tahu kepada wartawan bahwa petinju amatir yang ditanganinya akan melakukan latihan bersama petinju pro.
Di tahun itu tabu bagi Pertina melakukan latihan bersama petinju pro, yang diangggap sebagai sisa-sisa generasi Persatuan Gulat dan Tinju (Pertigu). Tinju pro dianggap musuh karena paling sering mencaplok petinju amatir.
Ketika Daniel Bahari tiba di tempat lathan Pirih Boxing Camp, tiga petinjunya langsung melakukan pemanasan. Daniel Bahari bersama pelatih senior lainnya Benny Tandiono (Jawa Timur) mempersiapkan Johni Asadoma kelas bantam 54 kilogram, Alexander Wassa kelas bulu 57 kilogram, dan Fransico Liboa kelas welter 67 kilogram, untuk mewakili Indonesia di Olimpiade Los Angeles 1984.
Selama menjalani latihan hampir tidak ada waktu yang terbuang. Intensitas latihan tinggi. Ketiga petinju melakukan persiapan di bawah disiplin ketat.
Saya tidak melakukan wawancara khusus dengan Johni Asadoma. Saya hanya bertanya tanggal lahir, prestasi di amatir, dan cita-cita.
Saya tidak pernah menyangkan kalau 36 tahun kemudian mengenal Johni Asadoma sebagai Inspektur Jenderal Polisi, seperti sekarang yang menjabat sebagai Kadiv Hubinter Polri.
Johni Asadoma adalah olimpian cabor tinju pertama yang menjadi jenderal polisi dua bintang.
Itu tentang Johni Asadoma.
Tentang Komaruddin Simanjuntak beda lagi. Saya mulai mengenal Komaruddin pada 2011.
Itu sekitar delapan tahun silam melalui tinju profesional di atas kapal tongkal yang sangat bersejarah di Siring Sungai Martapura, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Saya tidak pernah bertanya dari mana gagasan sehingga Komaruddin Simanjutak menyelenggarakan pertandingan tinju di atas kapal tongkang. Tak terbayangkan seandainya nasib sedang apes tiba-tiba ring tinju terguling hanyut ke dalam sungai dan habis ditelan buaya.
Pada malam itu saya maju sebagai promotor, setelah dua promotor nasional yang saya ajukan menolak karena takut malah uangnya yang akan digerogoti untuk membayar petinju dan tunggakan lainnya.
Itu salah. Sebab jauh sebelum pertandingan berlangsung, atau sebelum Non-M Promotion bersama rombongan besar dari Jakarta yang terdiri dari para juara tinju dan wasit/hakim, Komaruddin Simanjuntak melalui Ketua Panitia Tinju di Atas Kapal Tongkang, Letkol Inf Waston Purba, telah mencairkan seluruh pembayaran.
Uang sudah di tangan jauh sebelum bel ronde pertama terdengar. Itu tak akan terulang seumur hidup.
Non-M Promotion dan seluruh Tim Jakarta meninggalkan Banjarmasin tanpa masalah. Petinju yang biasa bertanding kejuaraan 12 ronde di televisi dan hanya dihargai Rp 3,5 juta, tinju di atas kapal tongkang dibayar bersih Rp 5 juta. Bersih karena Inspektur Pertandingan, Drs Oetojo, tidak seperak pun mengutip uang petinju (contest fee). Penata tanding yang biasa hanya dibayar Rp 2,5 juta di Jakarta, melalui Non-M Promotion menerima honor bersih Rp 7.5 juta. Seluruh biaya perjalanan pesawat Jakarta-Banjasmasin-Jakarta, hotel, dan makan, ditanggung kubu tinju di atas kapal tongkang. Uang saku dan biaya perjalanan utusan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) dibebankan kepada Non-M Promotion.
Setelah itu lama tidak pernah lagi bertemu Komaruddin Simanjuntak sampai beliau mengakhiri masa militernya sebagai Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana, yang merupakan Komando Kewilayahan Pertahanan meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Sekarang di sisa hidupnya Mayjen TNI (Purn) Komaruddin “Siantar Man” Simanjuntak ingin memberikan hati dan pemikirannya untuk Pertina. Sepuluh tahun yang lampau Komaruddin Simanjuntak adalah Ketua Pengprov Pertina Kalimantan Selatan dan salah satu orang paling dekatnya sudah pasti ***AIBA Hermanto Ginting.
Kedua tokoh ini – Irjen Pol Johni Asadoma dan Mayjen TNI (Purn) Komaruddin Simanjuntak—bagi saya, sangat spesial.
Spesial karena saya mengenal Johni Asadoma ketika ia berumur 18 tahun sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti pesta olahraga tertinggi bernama olimpiade.
Sementara, mengenal Komaruddin Simanjuntak bukan sebagai sesama Siantar Man, melainkan melalui tinju pro di atas kapal tongkang Siring Sungai Martapura. Itu sangat bersejarah, sampai sekarang.
Selamat “bertanding” kepada dua jenderal berhati tinju. Munas Pertina XX/2020 sudah dekat.
“Jangan ada permusuhan, konflik, dan dendam.” Inilah pesan penting yang selalu disampaikan oleh Johni Asadoma dan oleh Komaruddin Simanjuntak.
Siapa yang akan menjadi Pertina-1, Johni Asadoma atau Komaruddin Simanjuntak?
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridayasakti, Jawa Barat.