Rondeaktual.com – Kemarin (Selasa, 29/9/2020) saya janjian dengan Ketua Umum PP Pertina, Irjen Pol Drs Johni Asadoma, M. Hum.
Kami sepakat bertemu di ruang Kavid Hubinter Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (30/9/2020) pukul 10.00. WIB.
Rabu pukul 09.45 saya ke sana. Staf posko menjelaskan bahwa Irjen Pol Johni Asadoma baru saja keluar. Karena sudah janjian, saya memilih tetap menunggu. Kemudian saya diarahkan supaya masuk ke dalam gedung besar lantai 11. Tetapi, saya harus menjalani Rapid Test. Semua tamu, kata staf posko, wajib menjalani Rapid Test. Tidak masalah. Saya enjoy saja.
Seorang ibu menyuruh saya mengisi formulir dengan NIK KTP. Alamat saya tulis lengkap dengan RT dan RW, Jalan Mawar 2, Desa Tridayasakti, Jawa Barat.
Sebelum mengambil darah dari ujung jari telunjuk kanan, petugas bertanya tentang perjalan yang sudah saya tempuh.
Saya sampaikan kalau saya dari rumah. Setiap pagi sampai malam saya di rumah. Saya hidup menulis untuk tinju. Dua minggu yang lalu saya ke pergi hotel atlet di Senayan dan jumpa Hengky Silatang.
“Itu saja, Ibu.”
Tanpa bicara apa-apa, Ibu tadi mengambil darah saya dan saya disuruh menunggu di luar. “Nanti dipanggil,” katanya.
Saya tidak memikirkan kemungkinan buruk tentang hasil tes. Bagus atau jelek siap terima. Saya hanya berpikir hari ini bisa bertemu Ketum PP Pertina, Johni Asadoma. Itu saja.
Tak sampai 10 menit, nama saya dipanggil dan dinyatakan tidak ada masalah. Hasil pemeriksaan tertulis NON REAKTIF.
Terima kasih. Saya disuruh kembali ke pos dan menyerahkan hasil pemeriksaan Rapid Test tamu Mabes Polri. Sampai saya pulang ke rumah, kertas nomor urut 11 yang saya pegang masih tetap utuh di dalam saku blazer hitam. Baru sadar kalau saya lupa menyerahkannya.
Kepada Ketum PP Pertina, Irjen Pol Johni Asadoma saya jelaskan kalau saya sudah selesai menjalani Rapid Test dan segera menuju ruang Kadiv Hubinter.
Saya harus menunggu sampai akhirnya Johni Asadoma datang dari rapat dengan DPR di Senayan dan itu sudah hampir pukul 13.45.
Saya diajak makan siang bersama. Ada sate. Gule, dan hindangan lain. Sudah tidak napsu. Perut sudah penuh. Sudah kenyang. Tadi pukul 11.30 saya makan di kantin dengan ikan, dua potong tempe, satu mangkuk sayur bening, satu gelas air hangat, plus dua krupuk putih.
Meski begitu, ternyata makan siang bersama Johni Asadoma saya habiskan tiga tusuk besar sate, telur, dan gule. Sudah kenyang tambah kenyang.
Seperti yang saya janjikan kepada Johni Asadoma, saya ingin seperti berikut ini:
1. Wawancara tentang Olympian Indonesia Johni Asadoma, 20 menit.
Hasil wawancara ini untuk dimuat di buku Perjalanan Pertina.
Johni Asadoma menjadi Olympian Indonesia yang terakhir yang saya wawancara. Olympian lainnya atau 11 mantan petinju Indonesia yang pernah bertanding di olimpiade sudah selesai wawancara. Mereka adalah: Ferry Moniaga, Wiem Gommies, Syamsul Anwar Harahap, Frans van Bronskhorst, Ilham lahia, Hendrik Simangunsong, Albert Papilaya, La Paene Masara, Hermensen Ballo, Nemo Bahari, dan Bonyx Saweho.
2. Wawancara Johni Asadoma sebagai Ketua Umum PP Pertina 2016-2020, yang akan mengisi buku Perjalanan Pertina, 20 menit.
3. Wawancara Johni Asadoma tentang keinginannya maju dalam Musyawarah Nasional (Munas) XX Pertina 2020, 15 menit.
4. Foto Johni Asadoma, 5 menit.
Total waktu yang saya perlukan 60 menit dan itu terpenuhi. Bahkan pada menit ke-55 saya sudah selesai menjalankan pekerjaan saya bertemu dengan Irjen Pol Johni Asadoma.
Banyak hal menarik tentang wawancara Olympian Indonesia Johni Asadoma. Petinju kidal Olimpiade Los Angeles 1984 ini bercerita tentang bagaimana usaha kerasnya menurunkan bedan badan. Johni Asadoma adalah juara kelas ringan 60 kilogram Piala Presiden VII/1984, yang dipaksa harus bertanding di kelas bantam 54 kilogram.
“Bahkan waktu itu berat saya 61 kilo dan harus turun 7 kilo. Setengah mati rasanya. Pelatih (Daniel Bahari) bilang, kamu lebih berpeluang kalau main di kelas bantam. Ya sudah, saya ikut saja,” kenang Johni Asadoma.
Di Olimpiade Los Angeles 1984, kata Johni Asadoma, selain dirinya di kelas bantam, ada Alexander Wassa di kelas bulu, dan Francisco Lisboa di kelas welter.
Sebelum berpisah, kami foto berdua. “Foto dulu, pake jas baru,” kata Johni Asadoma, tentang penampilan saya, Rabu siang.
Seumur hidup, baru sekali itu saya mendapat sanjungan dari Johni Asadoma.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridayasakti, Jawa Barat.