Rondeaktual.com – Legenda tinju Pacitan, Jawa Timur, Wono Roya Subandi, 50 tahun, menyimpan kisah tentang bayaran seorang petinju profesional.
“Saya merintis karir tinju pro dari bawah,” kata Wono Roya, karyawan Pengelolaan Keuangan Kabupaten Pacitan. “Main pertama di Madiun 6 ronde melawan Hery Thompson. Saya menang KO ronde 4 dan menerima bayaran 30 ribu. Bayaran termahal saya terima ketika bertanding melawan petinju top Filipina, Andy Tabanas. Saya kalah dan menerima uang 27 juta, sesuai dengan kontrak yang sudah disetujui oleh badan tinju. Itu 20 tahun yang silam. Waktu itu saya masih umur 30-an.”
Pertandngan berlangsung di Hawaii Prince Hotel, Honolulu, 28 Maret 2000. Honolulu adalah ibu kota negara bagian Hawaii, Amerika Serikat.
Selain mengalahkan Wono Roya, Andy Tabanas pernah mengalahkan tiga petinju Indonesia; Agus Ray (Jakarta), M Basir (Malang), Nico Thomas (Jakarta).
Sebagai petinju pro, Wono Royo harus tunduk aturan. Honor tanding dipotong manajer 30% dan 4 % dipotong badan tinju yang mengawasi pertandingan.
Wono Roya bertinju di kelas terbang mini sampai kelas bantam. Setelah lama di Surya Madiun, Wono bergabung dengan sasana tinju yang ada di Kompleks Marinir, Cilandak, Jakarta Selatan. Menggebu-gebu tampil dalam tayangan siaran langsung, era tinju masuk televisi tahun 2000-an. Akhirnya dia harus kembali ke daerah kelahirannya, Pacitan.
Di Pacitan, Wono Roya memanfaatkan hasil keringat bertinju. “Alhamdulillah, saya punya rumah sendiri. Bisa beli motor untuk anak dan menyekolahkan anak. Uangnya dari tinju dulu.”
Anak tertuanya, Ameli Royani sudah Semester 4 di UNEJ Jember jurusan PGSD. Anak keduanya, Erfina Roya Ningrum, siap-siap masuk SMP.
“Perjuangan masih panjang. Sebagai ayah dan meski hanya sebagai mantan petinju, saya akan berusaha menjaga anak sampai kuliah selesai. Kalau kuliah selesai, pasti bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak dari saya,” kata Wono Roya.
Wono Roya mengaku relah harus kerja malam. “Saya keamanan di Museum Geopark UNESCO Pemda Pacitan. Besok harinya saya harus keamanan di Kantor Badan Pengelola Keuangan & Aset Daerah (BPKAD) Pacitan. Dari situ saya bisa menghidupi keluarga dan menguliahkan anak di Jember.”
Wono Royo mengaku bukan tipe mantan petinju pemalas. “Dari dulu, setelah lepas dari tinju, saya kerja pengamanan. Satpam. Saya bangga karena saya menyukai pekerjaan saya. Kalau saya malas dan tidak menyukai pekerjaan, mana mungkin saya bisa bertahan seperti sekarang. Kalau malas mungkin saya ini sudah menyandang status pengangguran.”
Wono Roya masih punya pemasukan uang dari usaha kios menjual oleh-oleh di Terminal Pacitan. Sejak era COVID-19 seret. Rotasi uang sangat sulit.
Toko itu bernama Roya Jaya Makmur. Menjual oleh-oleh khas Pacitan, seperti jajanan roti, kacang, minuman, termasuk jual pulsa.
Wono Roya terakhir naik ring Gili Trawangan, 25 Agustus 2017, kalah di tangan Andika Sabu, yang umurnya separuh dari Wono Roya 47 tahun ketika itu. (Finon Manullang)