Rondeaktual.com, Jakarta – Barangkali Sekjen terbaik yang pernah ada di Pertina adalah Trenggono, SH.
Itu terjadi ketika Pertina dipimpin seorang “Bapak Tinju” bernama Saleh Basarah, di tahun 70-an hingga tahun 80-an.
Sejak era Saleh Basarah berakhir dan menyusul merosotnya prestasi tinju Indonesia di ring tinju internasional, Sekjen Pertina sering “digoyang”. Ada yang “selamat” hingga akhir jabatan. Ada yang dengan sukarela memilih “lempar handuk” dan ada yang dipaksa harus “lempar handuk” sebelum masa jabatan habis. Sadis.
Dianggap terlalu berani bicara. Tetapi sering pula disanjung selangit karena dianggap pandai berbahasa Inggris di level AIBA.
Sebelum digoreng sampai ke ruang Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Pertina di Kepulauan Bangka Belitung 2017, sudah ada rombongan kecil (lebih dari 10 personalia PP Pertina termasuk seorang Waketum dan beberapa orang Ketua Pengprov) sengaja naik ke lantai dua meminta supaya dicopot.
Tidak mempan dan gagal di Ciasem, digoyang lagi sampai lebih 50% Pengurus Provinsi (Pengprov) Pertina mendesak agar Sekjen diganti.
Akhirnya, Senin (7/1/2019) beredar surat bahwa Sekjen PP Pertina Shelly Selowati H Soejono atau dikenal juga sebagai Shelly Miranda atau Nunung, benar-benar diganti. Saidal Mursalin, seorang polisi perwira menengah, maju sebagai Sekjen.
Shelly menjabat sebagai Sekjen selama hampir tiga tahun. Shelly masuk sebagai Sekjen tak lepas dari promosi “gila-gilaan” siang-malam yang dimotori oleh tiga pria mantan petinju yang pernah menjadi pelatih tim PON DKI Jakarta. Seorang di antaranya adalah mantan juara Asia.
Junusul Hairy beda lagi. Junusul menjabat Sekjen Pertina era Ketua Umum Reza Ali 2012-2016. Junusul sengaja “lempar handuk” hanya sekitar satu tahun setelah dilantik sebagai Sekjen PP Pertina. Berseberangan dengan kebijakan Ketua Umum Reza Ali, Junusul menyatakan mundur sebagai Sekjen.
Peristiwa itu tak pernah dipublish. Dibiarkan sampai orang lupa. Barangkali karena ketika itu belum masuk era Whats App, di mana berita menarik bisa menyebar ke mana-mana dalam hitungan detik. Era Sekjen Junusul masih pakai SMS, yang karakternya terbatas.
Junusul mungkin tidak punya masalah dengan Pengprov. Di situ bedanya. Tidak bermusuhan dengan sesama pengurus. Komunikasi bagus sehingga kasus “lempar handuknya” Junusul Hairy sangat berbeda. Tidak ada tekanan.
Junusul menyatakan mundur setelah beberapa bulan menduduki kursi goyang yang empuk di Pintu VI, Stadion Utama Gelora Bung Karna, Senayan, Jakarta.
Junusul menjadi orang pertama dan satu-satunya yang berani “lempar handuk” dalam kabinet Reza Ali 2012-2016. Tetapi personalia yang tidak mau menghadiri undangan rapat pleno, banyaknya bukan main. Dari lebih 100 pengurus bisa datang hanya 10 orang. Sama seperti rapat pleno sekarang.
Sekjen Junusul tidak secara frontal “perang” melawan Ketua Umum Reza Ali. Digaji rendah (Rp 1.500.000 per bulan) menjadi salah satu alasan yang mendorong Junusul harus pergi dari markas besar Pertina, Pintu VI, Stadion Utama Senayan.
Selain honor Rp 1.500.000 (wajib masuk jam kerja Senin hingga Jumat), Sekjen di masa itu juga mendapat fasilitas kendaraan plus driver. Sekjen wajib dijemput dari rumah dan diantar pulang ke rumah. Setiap hari.
Digaji murah, Junusul mengajukan honor tidak boleh ditawar Rp 5.000.000 per bulan. Ia yakin tuntutan lima juta tidak akan dipenuhi dan memang terbukti. Junusul pun enjoy meninggalkan sekretariat PP Pertina.
Jadi tidaklah benar jabatan Sekjen murni karena panggilan. Itu hanya dikarang-karang saja. Tidak benar seorang Sekjen tidak digaji. Ke mana-mana, tiket terbang dan hotel makan, dijamin gratis. Ditanggung tuan rumah.
Setelah Junusul Hairy “lempar handuk” dan sama sekali tidak ada tekanan dari Pengprov, penggantinya adalah orang yang sangat dekat dengan Reza Ali; Martinez dos Santos.
Sama seperti sekarang.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridayasakti, Jawa Barat