Rondeaktual.com
Sasana Pirih Surabaya adalah sasana tinju tertua dan satu-satunya yang tetap bertahan sampai sekarang. Sementara, sasana tinju besar lainnya yang lahir pada akhir dekade 70, seperti Waringin Jakarta, Garuda Jaya Jakarta, Orang Tua Semarang, Aladin Bandung, Sawunggaling Surabaya, Gajayana Malang, sudah tutup. Gulung tikar.
Pada tahun 80-an hingga 90-an, Pirih Boxing Camp Surabaya, yang terletak di Jalan Nginden Kota II Nomor 100, Bratang, pernah melahirkan juara IBF Intercontinental seperti; southpaw Yani Malhendo, Ricky Matulessy, Andrian Kaspari, dan juara OPBF Marianus Penmaley.
Untuk juara Indonesia, Pirih pernah melahirkan Albert Bapaimo, Ambri Sanusi, Udin Baharuddin, Robby Rahangmetan, Tarman Sutarman, Mudafar Dano, Hasanuddin Hasibe, dan masih banyak lagi.
“Kalau saya tidak sempat juara di profesional. Hidung saya mudah berdarah membuat saya harus mengundurkan diri,” kata Serda TNI AL Joa Lopez. “Kalau di amatir, saya sempat juara. Di Manado saya jura. Di Timor Timur saya juara.”
Sejak pendiri sasana Eddy Pirih meninggal di usia 75, Pirih Boxing Camp Surabaya tenggelam secara perlahan-lahan. Selama bertahun-tahun, tidak ada lagi orang yang datang untuk latihan tinju. Sasana Pirih menjadi penuh debu, karena bertahun-tahun dibiarkan kosong. Sasana tidak dirobohkan. Tetap ada. Ring tinju era Eddy Pirih dipertahankan. Kolam renang, yang letaknya hanya sekitar lima meter dari ring tinju sudah ditimbun dengan tanah. Sudah tutup.
“Sekarang Pirih Surabaya pelan-pelan bangkit dari tidur panjang,” kata mantan petinju Joa Lopez, seorang anggota TNI AL, menjalankan dinas Satprov Denmako Koarmada II Ujung Surabaya. “Saya datang sebagai pelatih tanpa ada yang membayar. Saya ingin sasana Pirih bisa tetap seperti dulu, berkibar ke mana-mana. Ini saya lakukan untuk menebus kebaikan Bapak Eddy Pirih. Almarhumlah yang membina saya sebagai petinju, termasuk mengantar saya sebagai prajurit TNI Angkatan Laut. Saya diurus oleh Bapak dan sekarang saya ingin mengurus Sasana Pirih. Saya tidak tau apa jadinya hidup ini kalau tidak masuk tentara. Kebaikan Bapak (Eddy Pirih) tak akan terlupakan.”
Pirih dulu dengan Pirih sekarang sudah beda. Dulu, Pirih didominasi tinju profesional dan hanya beberapa petinju amatir yang berkompetisi sampai tingkat Kejurda. Tidak ada yang merebut medali emas dari tingkat Kejurnas Senior. Bila sudah menjadi juara di tingkat Kejurda, langsung masuk pro. Itu sudah semacam tradisi dalam Pirih Boxing Camp Surabaya.
Sekarang, tinju pro hampir 100% gulung tikar alias berhenti operasional. Sasana amatir bertahan karena banyak yang mendapat suntikan dana dari dinas olahraga.
“Harus kita terima, tinju amatir lebih hidup dari tinju pro,” kata Joa Lopez, yang sejak masih aktif di tinju profesional sudah tertarik dengan bidang kepelatihan. Ia ikut berdiri di sudut ring, sebagai sekondan lapis dua, setiap petinju Pirih bertanding. Ikut mencuri ilmu kepelatihan dari mendiang Mario Lumacad, pelatih asal Filipina yang selama bertahun-tahun hidup di Pirih Surabaya.
“Saya sudah lama keluar dari tinju. Sekarang masuk lagi dalam posisi yang berbeda, sebagai pelatih. Banyak calon petinju bagus dari sasana Pirih Surabaya. Mereka berlatih setelah pulang dari sekolah. Bila ada pertandingan, petinju yang siap naik ring kita antar ke pertandingan. Ada yang menang, seperti Nelson Matulessy, pekan lalu di TVRI Surabaya dan di Halaman Balai Pemuda Surabaya,” kata Joa Lopez.
Pada pertandingan terakhir di Halaman Balai Kota, Minggu, 14 Juli 2024, Joa Lopez mengakui petinju Pirih Surabaya berguguran di tangan petinju Sasana Kanri Dinsos Surapaya. Beruntung Nelson Matulessy bisa memenangkan pertandingan dengan mengalahkan Marcel Dwi Rahmat dari Kanri Dinsos Surabaya.
“Mereka (Kanri Dinsos) bagus-bagus. Dipersiapkan untuk Popnas. Petinju Pirih baru semua,” ujar Joa Lopez.
Joa Lopez mengaku, selalu memberikan hati dan waktu untuk petinju-petinju muda, yang datang berlatih ke Pirih Surabaya.
“Saya selalu bilang, kalian masih muda, ini yang pertama. Untuk mencapai prestasi tinggi, harus berlatih dengan serius. Jangan setengah hati, percuma dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Biasakan diri taat dan disiplin. Kalau kalian jauh dari disiplin, hasilnya tidak akan maksimal. Saya datang jauh-jauh untuk membangun kalian, untuk mencapai prestasi nasional dan internasional. Apabila kelak saya sudah tiada dan kalian belum sempat juara di tangan saya, saya harap kalian tetap berlatih keras. Saya bangga kalau kalian menjadi juara. Pelatih tidak minta apa-apa. Raihlah prestasi. Kejar medali emas.” (Finon Manullang)