Rondeaktual.com – Tinju Indonesia adalah sebuah majalah, yang pembagian halamannya 50% untuk tinju profesional Indonesia, 30% untuk tinju amatir Indonesia, dan 20% untuk tinju luar negeri.
Tinju Indonesia terbit pertama kali pada tahun 1981, sekaligus menyambut kejuaraan tinju dunia pertama di Indonesia antara juara WBC kelas welter yunior Saoul Mamby (Amerika Serikat) melawan penantang Thomas Americo (Gajayana Malang, Indonesia) di Jakarta, 29 Agustus 1981.
Majalah Tinju Indonesia beredar di kios secara terbatas. Majalah ini sampai ke tangan Paruhum Siregar (pelatih top Sumatera Utara) dan Effendy Nasution atau dikenal sebagai Pendy Keling di Medan. Pengurus tinju amatir di berbagai daerah juga pernah memperoleh Majalah Tinju Indonesia.
Tinju Indonesia terakhir terbit tahun 1991, setelah tidak ada lagi orang yang menangani Redaksional. Setijadi Laksono selaku pemilik, menutup majalah untuk selama-lamanya.
Penulis mulai bersama Tinju Indonesia tahun 1984. Hampir 10 tahun di sana setia menangani Redaksional. Tinju Indonesia melakukan perubahan signifikan.
Setijadi Laksono sepakat menggeser hampir 60% berita tinju luar negeri. Peringkat petinju Indonesia dan OPBF (Asia Pasifik) dipertahankan. Peringkat sangat penting untuk kemajuan tinju. Apalagi Setijadi Laksono seorang promotor paling banyak menggelar pertandingan di Jawa Timur dan sebagian di Jawa Tengah.
Berita tinju dalam negeri menjadi sangat dominan. Tidak ada lagi wajah petinju luar negeri yang menghiasi sampul depan. Semua cover adalah wajah tinju Indonesia.
Monod (Arema Malang) adalah petinju Indonesia pertama menjadi cover Majalah Tinju Indonesia. Disusul juara OPBF kelas ringan Juhari (Gajayana Malang), juara OPBF kelas bantam yunior Ellyas Pical (Garuda Jaya Jakarta), dan seterusnya.
Ellyas Pical satu-satunya petinju sering sampul muka. Dimulai ketika menang unanimous decision dua belas ronde melawan Hee Yun Jung untuk merebut gelar OPBF kelas bantam yunior di Seoul, Korea Selatan, 19 Mei 1984.
Banyak petinju Indonesia mendapat kesempatan cover majalah seperti; Kai Siong, Ippo Gala, Marthen Kasangke, Husni Ray, Robby Rahangmetan, Ambri Sanusi, Polly Pasireron, Boy Bolang, Yani Hagler, Herman Sarens Soediro, Yossy Amnifu, Kid Samora, Francisco Lisboa, Nurhuda, Little Holmes, dan yang lain.
Majalah Tinju Indonesia di masa lalu, sekarang tinggal kenangan.
Elyas Pical paling sering terpilih sebabagi “Petinju Tahun Ini” versi Majalah Tinju Indonesia. Petinju lain yang pernah terpilih antara lain; Nurhuda, Hengky Gun, Wongso Indrajit.
Tinju Indonesia pernah memilik rubrik favorit, yaitu wawancara khusus. Boy Bolang orang pertama mengisi wawancara.
Penulis menjumpai Boy Bolang di kantornya di daerah Kwitang, Jakarta Pusat. Di ruang tamu ada tiga pria ingin wawancara. Boy Bolang menolak wawancara borongan. Penulis mendapat kesempatan pertama masuk. Wawancara eksklusif lebih 60 menit. Itu suatu kehormatan.
Di tahun itu, Boy Bolang sedang mengurus rencana kejuaraan dunia IBF kelas terbang ringan antara juara kidal asli Dodie “Boy” Penalosa (Filipina) melawan penantang kidal buatan Yani “Hagler” Dokolamo (Sawunggaling Surabaya, Indonesia), yang berlangsung di Jakarta, Sabtu malam, 12 Oktober 1985.
Penulis juga melakukan wawancara khusus di ruang tamu promotor Herman Sarens Soediro, Jalan Daksa, Kebayoran Baru.Sambil mengisap cerutu (di era itu, orang masih jarang mengisap cerutu), Herman Sarens Soediro bicara: “Demi Merah Putih, setan pun gua bayar.”
Tinju Indonesia tidak hanya wawancara dengan tokoh tinju terkenal, namun petinju-petinju muda mendapat porsi yang tepat. Tidak harus juara dunia. Tidak sedikit yang mendapat perhatian. Petinju baru masuk rubrik wawancana khusus. Sangat menyemangati dan itu tidak akan terulang.
Pada era tahun 80-an, hampir semua petinju Indonesia menjadi liputan. Menyuguhkan hasil pertandingan termasuk menulis profil para juara. Hampir tidak ada yang lepas. Mengangkat pertandingan bukan saja dari Pulau Jawa. Kami meliput pertandingan di Stadion Teladan Medan, Stadion 17 Mei Banjarmasin, Stadion Mattoangin Ujungpandang (sekarang Makassar), dari Jambi, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan, Papua (ketika Wagubnya adalah Sugiyono dari Malang). Selalu kami publikasikan.
Masa emas itu akhirnya berhenti. Penulis pergi bergabung dengan koran harian pagi di Surabaya, November 1990.
Beberapa bulan kemudian, pertengahan tahun 1991, Setijadi Laksono menutup majalah untuk selama-lamanya.
Sedih, tapi biarlah begitu. Semuanya telah berlalu.