Rondeaktual.com – Petinju main dukun bukan cerita baru. Sebelum mengambil spesialisasi “menulis untuk tinju” seperti sekarang, penulis pernah bertahun-tahun menulis tentang praktik dan kehidupan dukun ke dukun di Jakarta dan sekitarnya. Percaya atau tidak percaya, ilmu perdukunan itu ada, yang sekarang dipopulerkan sebagai paranormal.
Sebuah kisah tahun 1984, seorang Kelas Welter meminta kepada penulis agar memberikan selembar foto petinju Thomas Americo.
Ketika itu, penulis mengurus redaksional Majalah Tinju Indonesia di Surabaya. Majalah itu milik pemegang medali emas kelas berat PON VII Setijadi Laksono.
Baca Juga
Advertisement
Penulis memang suka menyimpan foto petinju untuk tujuan dokumentasi redaksional Majalah Tinju Indonesia, tempat penulis berkarya di Surabaya. Pada era itu, hampir semua foto petinju tersusun di lemari besi ruang Redaksi.
Kelas Welter tadi menyelipkan foto Thomas Americo ke dalam dompetnya. Sebelum dia pergi, penulis bertanya. “You simpan itu foto untuk apa?”
Menurut Kelas Welter, foto akan diserahkan kepada seorang dukun di Manukan Kulon, Tandes, Surabaya. Foto dicemplungin ke dalam gelas berisi air putih dan kembang sembilan rupa. Seterusnya dijampi-jampi.
Baca Juga
Advertisement
Seminggu kemudian, penulis sengaja pergi ke GOR Pulosari Malang untuk melihat “tenaga dukun” yang sudah diselipkan ke tubuh Kelas Welter.
Ternyata omong kosong. Tidak bisa dipercaya. Thomas Americo dari Gajayana Malang dan di bawah komando pelatih Abu Dhory, berkali-kali mendaratkan jab-straight tangguh membuat Kelas Welter pontang-panting dan oleng bagai perahu dihempas badai. Secara total Kelas Welter kalah segalanya; kalah hati kalah kelas kalah mutlak.
Sebelumnya, di sebuah makam keramat tak jauh dari “Rumah Si Pitung” di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, seorang penjaga makam memberikan jampi-jampi agar seorang petinju sasana di Pacuan Kuda Pulomas, bisa menang di pertandingan MBC era Boy Bolang. Hasilnya nol. Orang itu kalah telak.
Baca Juga
Advertisement
Kisah Nostalgia Versi Hengky Silatang
Cerita kurang lebih sama tentang “tenaga dukun” disampaikan mantan petinju amatir kelas terbang Hengky Silatang. Bernostalgia di samping ring sasana HS Boxing Ciseeng yang besar, miliknya di Kampung Parigi Mekar 156, Desa Parigi Mekar, Ciseeng, Kabupaten Bogor, Sabtu sore, 5 April 2025.
Penulis dan seorang rekan wartawan lainnya serta para mantan petinju yang sudah beralih profesi sebagai pelatih, dipaksa tertawa terbahak-bahak. Tidak ada yang tidak terhibur.
Hengky “Taigigi” Silatang, memang jago mengocok perut setiap lawan bicaranya. Tidak ada orang yang stress di depannya.
Baca Juga
Advertisement
Penulis dan kami semua ada sekitar 15 orang, sore itu puas mendengar Hengky Silatang bernostalgia.
Sambil menghabiskan sepotong buah semangka, penulis pura-pura tidak fokus mendengar apa-apa yang dinostalgiakan Hengky Silatang, yang tercatat sebagai Ketua Pengprov Pertina DKI Jakarta dan salah seorang direktur Artotel Gelora Senayan.
Penulis memotong: “Loh (pura-pura terkejut), sudah mau naik ring sempat-sempatnya cari dukun.”
Baca Juga
Advertisement
“Bukan cari dukun,” sanggah Hengky Silatang. Cepat sekali. “Waktu itu saya dan tiga petinju lainnya mau tanding di Sukabumi, di lapangan sepakbola. Kami menjadi tamu Kepala Desa. Diam-diam bapak desa itu sudah mencarikan dukun buat kami. Dukun itu seorang perempuan tua. Diperkenalkan dan kami menurut saja.”
Sebelum jumpa dukun, Kepala Desa sudah memberikan pengantar bahwa pada malam pertandingan petinju Jakarta akan mencapai sukses besar. Masing-masing petinju memperoleh tenaga melalui transfer ilmu dari lidah ke lidah. Mohon maaf, seperti dua sejoli sedang bercinta alias “perang lidah”.
Setiap orang disuruh menjulurkan lidah kemudian dukun tua mentrasfer ilmunya dengan lidahnya sendiri. Dikunyah habis.
Baca Juga
Advertisement
Berdasarkan cerita nostalgia Hengky Silatang, setelah “dipaksa perang lidah” rasanya isi perut mau tumpah.
Mungkin lantaran ibu dukun sudah expayer. Sudah keriput barangkali. Coba masih muda, boleh jadi ibarat orang menyantap nasi uduk campur balabala; pasti minta tambah.
Pas pertandingan –masih menurut kisah nostalgia versi Hengky Silatang—tidak ada yang memenangkan pertandingan. Semua kandas.
Baca Juga
Advertisement
“Waktu main, kita pancing jab-jab agar lawan takut. Eh, lawan malah nyerang. Kita tangkis atas lawan pukul bawah. Diambil rusuk. Kita jaga perut lawan hajar muka. Hancur kitanya. Babakbelur. Turun ring muka bengkak-bengkak. Taigigi,” tutupnya. Semua tertawa.
Sore itu, kami masing-masing pulang sebelum hujan membasahi tanah Ciseeng.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridayasakti, Jawa Barat.
Baca Juga
Advertisement
Tinggalkan Komentar..