Rondeaktual.com, Jakarta, Oleh Finon Manullang – Siang tadi (Sabtu, 28/9/2019) saya bertemu Syamsul Anwar Harapan, 67 tahun, di Kota Tua. Saya sendiri. Legenda Syamsul Anwar juga sendiri, setelah mengantar istri dan kedua putrinya masuk ke dalam rumah.
Kami duduk di atas kursi masing-masing, kursi plastik kaki empat, di Kota Tua.
Kota Tua terkenal dengan Taman Fatahillah atau Kantor Pos terlama dan terbesar, yang terletak di Jalan Taman Fatahillah, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat. Turis lokal dan turis mancanegara tak pernah jenuh datang ke sana. Ada saja yang mereka lihat, termasuk konser musik lokal setiap hari.
Saya duduk lebih dulu. Sebelum Syamsul duduk, saya menyentuh perut Syamsul dan bicara begini: “Perut Abang sekarang lebih besar.”
“Ya. Aku sudah mulai jarang olahraga.”
Siang tadi kami membicarakan sesuatu yang tidak harus disampaikan kepada public. Itu tentang jantung. Jantung seorang sahabat tinju yang mulai bermasalah.
Untuk menemani duduk, Syamsul berteriak: “Teh tarik satu.”
Saya segera menyambung dengan mengangkat telunjuk ke arah penjaga kedai yang ada di sana. “Kopi.”
Secarkir kopi itulah yang menemani saya ketika bercakap-cakap bersama southpaw Syamsul Anwar Harahap, Best Boxer President`s Cup I/1976 Jakarta. Syamsul mewakili Indonesia Kuning dan mengalahkan si jangkung Thomas Hearns (Amerika Serikat) untuk menjadi petinju terbaik.
Tak lama seorang bapak datang menyodorkan koran edisi sore. “(Bayar) besok ya. Senin saya sudah berangkat (ke Sumatera Utara mengurus usaha perkebunan).”
Di depan kami duduk, berjarak sekitar lima meter, berjejer usaha Syamsul Anwar Harahap. Saya tidak sedang menghitung apa-apa.
Tetapi, saya melihat ada usaha toilet umum yang di depannya ada kulkas berisi aneka solfdrink untuk dijual. Di sebelah kanan toilet ada kios jual tshirt souvenir, di sebelahnya ada rumah makan masakan padang, di sebelahnya atau pas di ujung gang, ada kafe atau rumah makan menjual soto tangkar, nasi goreng, baso, dan berbagai minuman dingin dan jus.
“Tidak pernah kosong. Jam segini (sekitar pukul dua siang) masih penuh,” saya menunjuk ke depan, pas seorang mantan juara Indonesia kelas welter lewat di depan kafe. Petinju itu sekarang bertanding di kelas berat ringan dan menjadi security di kafe milik Syamsul Anwar. Berhonor harian.
“Dari situ uang masuknya besar,” Syamsul menunjuk ke arah toilet.
Toilet itu bisa jadi toilet terkaya di Indonesia. Sehari, khusus di hari ramai seperti libur nasional, tidak mati satu juta. Setiap orang masuk gratis dan keluar wajib setor Rp 2.000. Pengunjung tidak pernah sepi.
“Waktu Imlek kemarin sehari dapat 17 juta. Itu yang tertinggi,” Syamsul menjelaskan.
Hitungnya, menurut Syamsul, dari pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore terkumpul Rp 11 juta. Dari pukul 6 sore hingga pukul 6 pagi dapat Rp 6 juta. Total sehari, atau 24 jam, Rp 17 juta.
Saya tidak bertanya ke mana uang sebanyak itu. Tetapi, saya mendengarkan saja ketika Syamsul bicara begini: “Itu satu-satunya toilet yang ada di sini dan tidak bauk (Syamsul menutupi hidungnya agak lama). Tidak bau pesing. Bersih dan wangi. Airnya mengalir ke bawah, makanya tidak bauk.”
Tentang tinju, Syamsul Anwar Harahap sempat menyebut kekuatan besar Uzbekistan, yang sudah mematahkan dominasi Kuba di amatir. Syamsul juga menyebut kekuatan luar biasa India.
“Tahun 1975 aku pernah mengalahkan petinju India. Sekarang India maju pesat karena pembinaan tinjunya tepat dan berhasil. India bersama pelatih Kuba selama bertahun-tahun. Di sini pelatih Kuba dibatasi hanya enam bulan menangani petinju pelatnas dan itu tidak akan menghasilkan prestasi besar.”
Di Kota Tua bersama secangkir kopi, Syamsul Anwar sampai tiga kali menyebut nama besar Wiem Gommies, sekali nama masing-masing Frans van Bronshorst, Ferry Moniaga, Benny Maniani.
“Kami berlima dulu satu tim pelatnas. Baik-baik semua. Wiem Gommies dengan bible di bawah bantal. Baca alkitab sebelum tidur. Frans VB baik. Ferry Moniaga baik. Benny Maniani baik. Semua orang-orang yang sangat baik.”
Syamsul meneruskan. “Semua yang juara Asia itu sudah dapat rumah. Saya sendiri yang tidak dapat.”
Saya diam saja. Saya tidak ingin bertanya misalnya, mengapa tidak dapat. Dalam hati saya hanya menduga-duga; barangkali tidak diurus.
Syamsul Anwar Harahap menyimpan banyak kenangan. Salah satu yang tak terhapus adalah tentang medali emas.
“Sepanjang bertinju, saya hanya sekali mendapat medali emas yang benar-benar terbuat dari emas murni. Itu di Medan, yang bikin Paruhum Siregar. Malaysia dan Singapura ikut. Juaranya mendapat medali yang dilapisi emas 24 karat, emas 22 karat, dan emas 18 karat, suasa. Itu era Paruhum Siregar, karena kecintaannya terhadap petinju. Medali dilapisi emas murni. Golden Gloves di Amerika, itu juga terbuat dari emas murni.”
Itu mungkin cerita lama. Cerita yang sudah pernah diungkap Syamsul di media. Tetapi, siang itu di Kota Tua, masih asyik saja mendengarnya.
Finon Manullang, menulis dari Desa Tridaya, Jawa Barat.