Rondeaktual.com – Boy Manullang, 39 tahun, adalah seorang petinju profesional kelas bantam era promotor A Seng dan Daniel Bahari. Pukulannya keras. Sering menghasilkan KO membuat promotor suka. Akhirnya ia harus menghadapi Daud Yordan dan habis tiga ronde.
“Itu 13 tahun silam,” tangkis Boy Manullang, yang di masa bertinjunya berlatih di Kebumen, Jawa Tengah. “Dulu tidak siap. Waktu itu datang kontrak melawan Daud yang kelasnya di atas. Ditolak sayang, diterima ya gitulah. TKO.”
Menghadapi Daud Yordan salah satu yang paling diingat oleh Boy Manullang, kelahiran Pulo Brayan, Sumatera Utara, 3 Mei 1981. Pertarungan berlangsung di studio 5, siaran langsung Gelar Tinju Profesional Indosiar (GTPI), kelas bulu yunior 10 ronde non gelar, November 2006.
“Saya dulu sering dipanggil ke Jakarta. Dapat kontrak dari Om A Seng (promotor Sabuk Emas RCTI) dan Om Daniel (Bahari, promotor Gelar Tinju Profesional Indosiar). Sayang ya, kedua promotor terbaik kita itu telah pergi untuk selamanya,” kenang Boy Manullang. Ia bersama istri keduanya dan menjalani hidup sebagai tukang. Boy juga seorang terapis dan pernah membuka usaha pijat reflesi.
“Saya sekarang urus tukang (bangun dan renovasi rumah) di Surabaya. Sudah tidak urus tinju. Sudah berhenti. Ini kita sedang dihantam wabah corona. Bulan lalu sempat sepi. Tidak ada pekerjaan,” ujar lelaki bernama Charles Tua Manullang ini. Ia juga dikenal sebagai Boy Malindo.
JALAN HIDUP MENYEDIHKAN
Jasa tukang bangun rumah dan toko maupun jasa renovasi sudah dimulainya sejak 10 tahun silam. Kadang padat. Order sampai kewalahan dan dia kekurangan tenaga tukang.
Jalan hidup Boy Manullang, anak rantau asal Sumatera Utara, panjang dan sangat mengharukan.
Setelah TKO melawan Daud Yordan, karir tinjunya mulai memburuk dan tidak lagi tinggal di Kebumen, Jawa Tengah. Ia menikah dan tinggal di Surabaya, Jawa Timur.
Lima tahun kemudian, tiba-tiba sang istri pergi dan membawa kedua putri mereka.
Diperlakukan seperti itu, Boy Manullang mengalami depresi berat. Tidak tahu apa yang hendak dilakukan. Kedua putrinya yang sangat disayangi pergi bersama sang ibu. Entah ke mana.
“Saya tidak tahu di mana kedua anak saya, sampai sekarang. Saya tetap menanti Clara dan Dea. Rasa cinta dan rindu ini hanya untuk Clara dan Dea. Di mana mereka, hanya ibunya yang tahu.”
“Lima tahun sudah tanpa kabar. Anak panggoaran diputuskan hubungan oleh ibunya. Hanya tato Clara dan Dea di tangan yang tak akan pernah saya hapur. Merekalah jantung hati saya.”
“Lima tahun saya tidak pernah jumpa Clara dan Dea. Mudah-mudahan besok atau kapan bisa bertemu ayah dan anak diakhir pandemic coronavirus ini. Lantaran anakkon hi do hamoraon di au (anak adalah harta paling indah dalam hiduku). Biarlah ibunya puaskan kehendaknya sendiri. Saya cinta anak-anak saya.”
“Setelah saya mengerti kehendak ibunya sampai hati memisahkan anaknya dari bapaknya, saya tetap orang Batak yang punya prinsip anakkon hi do hamoran di au (salah satu lirik lagu Batak paling legendaris).”
Sedih, jika membayangkan jalan hidup seorang Boy Manullang. Dikehidupan yang baru seperti sekarang, Boy Manullang sudah bisa menjalani kehidupan normal. Bisa menjalankan usaha bangun dan renovasi rumah. Menyemangi para tukangnya agar tetap semangat di tengah-tengah Covid-19.
Dulu, ketika ditinggal tanpa pesan, pikiran Boy Manullang kacau. Berhari-hari hidup di Terminal Joyoboyo, Wonokromo, Surabaya, sambil berangan-angan bisa berjumpa dengan kedua putrinya.
Boy Manullang tidak pernah melihat kedua putrinya, sampai suatu hari seseorang menemukan dirinya di terminal dan menjadi mualaf. (ronde aktual / finon manullang)
Kalau mengatakkan sesuatu harus jujur. Kalau seorang suami tidak melakukan KDRT dan bertanggung jawab menafkahi istri dan anaknya. Tidak salah istri minta berpisah. Apalagi jika serorangg suami yang pergi meninggalkan istri dan anak-anaknya.
kirain sudah mau berubah dan menjadi jujur.
Kalau seorang perempuan yang tau suami sampai mengancam orang tuanya sudah pasti kecewa.
Apalagi di berita ini bukannya jujur malah menyudutkan pihak istri dan membalikkan fakta