Rondeaktual.com – Oleh Finon Manullang
Ini adalah wawancara Olympian Indonesia Ferry Moniaga, tahun lalu.
Ferry Moniaga sekarang berusia 72 –lahir di Tanjung Pinang, 4 September 1949. Ferry pernah menetap dan menjadi atlet petinju di Denpasar, di Jakarta, di Surabaya, dan kembali ke Jakarta. Ferry pernah dijuluki oleh wartawan olahraga sebagai seniman ring.
Ferry menghabiskan hari tuanya dengan berbagai kegiatan di rumahnya, di Perum Mas Naga, Kelurahan Jaka Sampurna, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
“Saya tidak ke mana-mana. Di rumah saja,” kata Ferry Moniaga, tadi malam, Sabtu, 8 Januari 2021.
Setiap bagun pagi, Ferry selalu menyempatkan diri untuk olahraga. “Olahraga di sini saja. Pukul sansak, tapi tidak yang berat. Enteng, yang penting ada gerak. Kita tidak boleh diam,” katanya.
Ferry mengaku rajin membuka dokumentasi tinju yang dimilikinya. Ia mengajak saya untuk menerbitkan buku.
Sepanjang karir tinjunya, Ferry Moniaga mengaku menang terus dan tidak pernah kalah oleh petinju dalam negeri, sampai pengunduran dirinya pada 1985. Ferry menjelaskan tidak ada bonus untuk prestasi besar yang diraihnya dengan susah payah. Belakangan sering mendapat bonus.
“Terima kasih, pemerintah masih ingat para mantan atlet. Masih suka dipanggil untuk acara hari tertentu dan saya sudah menikmatinya. Terima kasih sekali lagi, kami sudah diperhatikan,” katanya. Berikut 15 wawancara Ferry Moniaga, tahun lalu.
1. Siapa orang pertama yang menyuruh Anda berlatih tinju?
Orangtua tidak kasih anaknya masuk tinju. Itu yang pertama. Pas kelas 3 SMP di Kota Denpasar, Daniel Bahari sudah jadi petinju, dikumpulinlah anak-anak yang mau latihan tinju. “Ayo, siapa yang mau jadi petinju, datang ke sini.”
Saya ikut. Pas mau bertanding ke Lombok, orangtua larang. Tidak setuju saya jadi petinju. Pengurus tinju datang ke rumah. Pangkatnya Letkol, atasan papiku. Papi jawabnya siap, siap, siap. Papi tidak bisa menyanggah karena yang dihadapi seorang Letkol.
Pulang dari Lombok, aku dipukul dengan kopel. “Malu-maluin papi aja kamu,” kata papi. Itu salah satu kenangan yang paling aku ingat.
2. Siapa saja pelatih yang pernah membimbing, barangkali masih ingat.
Mayun Narendra dan Daniel Bahari. Itu di Bali. Lepas SMA aku datang ke Jakarta. Kuliah di AMI. Masuk klub TOVO.
TOVO singkatan dari Tetap Optimis Via Olahraga. TOVO mengurus beberapa cabor. Ada voli, angkat besi, dan cabor lainnya. Tinju ditangani pelatih John Malessi. Itu aku ingat betul. Tidak bisa lupa dengan John Malessi.
3. Siapa lawan pertama, bertanding di mana, dan siapa pemenangnya.
Lawan pertama masih di Bali, tinju pasar malam. Waktu itu kelas 1 SMA. Kita bertanding. Siapa nama lawan, sudah tidak ingat. Tapi siapa pemenangnya masih ingat, Ferry Moniaga, he he he.
4. Ketika kalah dan ketika menang, bagaimana rasanya?
Saya belum pernah kalah melawan petinju Indonesia, sampai sekarang. Saya kalahnya melawan petinju asing.
Kalau menang, apalagi mewakili negara, bendera Merah Putih dinaikkan perlahan-lahan lalu terdengar lagu kebangsaan Indonesia Raya, apa tidak bangga?
Rasanya bangga sekali. Kalau sekarang sudah beda. Dapat medali dapat uang.
5. Siapa petinju Indonesia yang pernah menjadi lawan terberat?
Semua lawan berat. Kita selalu usahakan supaya menang. KO lebih bagus. Pertandingan cepat selesai. Tidak perlu lama-lama. Penonton lebih suka kalau terjadi KO. Kalau angka bisanya kurang puas.
Seorang petinju sebaiknya jangan pernah pandang enteng lawan. Itu tidak bagus. Jangan pernah merasa lawan ini enteng dan sebagainya. Siapa pun lawan tetap anggap berat. Jangan sekali-kali anggap remeh lawan. Itu Ferry Moniaga.
6. Ketika menjadi juara, bonus apa saja yang pernah diterima?
Tidak ada bonus. Dulu cuma penghargaan. Dikasih piagam. Atau kita diundang lalu datang duduk manis dan mendengarkan pengurus menyampaikan ucapan terima kasih ketika dia pidato. “Terima kasih sudah sumbang medali.” Begitu saja, lalu pulang.
Setelah tua, pemerintah ada kasihlah. Tahun ini (September 2020) saya bersama Alberth (Papilaya) dikasih penghargaan dan dikasih uang.
Menpora sebelumnya juga pernah kasih. Tidak dilupakan begitu saja. Terima kasih sudah mengingat mantan atlet.
7. Bagaimana bisa menjadi wakil Indonesia di olimpiade?
Waktu itu diseleksi. Dipilih gitulah, yang pilih Pertina dan oleh negara. Siapa yang dianggap bisa lolos dipanggil.
Saya terpilih untuk kelas bantam dan Wiem Gomies dari Maluku kelas menengah.
Kita masuk pelatnas. Enam bulan latihan di Berlin Barat. Waktu itu masih Jerman Barat. Kalau ke Jerman Timur harus ada izin.
8. Ketika tiba di olimpiade, bagaimana rasanya?
Paling tidak ada sedikit tanggung jawab supaya kita bisa pulang membawa medali. Rasanya ingin melihat medali olimpiade. Ternyata gagal.
9. Ketika gagal meraih medali di olimpiade, bagaimana rasanya?
Tidak puas. Tapi yang namanya atlet pasti sudah berusaha. Berjuang maksimal ternyata belum cukup.
Saya kalah dari juara pertamanya. Dia orang Kuba (Orlando Martinez merebut medali emas, Alfonso Zamora/Meksiko merebut medali perak, Ricardo Carreras/Amerika Serikat merebut medali perunggu, George Turpin/Inggris merebut medali perunggu).
Aku kalah taktik. Pelatih tidak ada, setelah meninggal di Jerman jelang olimpiade. Pertina segera kirim pelatih ganti, tapi suasana hati sudah beda. Bawaannya sedih.
Pas main pertama dapat bye. Senang bukan main. Naik ring kedua mengalahkan Nikaragua (menang 5-0 atas Rene Silva). Main ketiga mengalahkan Ghana (menang 4-1 atas Joe Destimo). Main keempat perdelapan final, eh gagal. Lawan orang Kuba (kalah 0-5 atas Orlando Martinez).
10. Setelah tiba di Indonesia dari olimpiade, apa yang ada dalam pikiran?
Saya ingin balas di olimpiade berikutnya (Olimpiade XXI/1976 Montreal, Kanada).
Ingin membalas, ingin membalas, ingin membalas. Itu yang berkecamuk dalam pikiran. Saya harus balas. Itu impian besar.
Ternyata yang berangkat Syamsul (Anwar Harahap, kelas welter ringan) dan Frans (VB, kelas welter). Dibatasi hanya dua jatah. Saya tidak berangkat karena katanya sudah pernah ke olimpiade.
Oh gitu rupanya. Sudah latihan tapi tidak berangkat. Kecewa sekali dan sakit hati. Saya lari ke Surabaya.
Di Surabaya ada pengusaha Richard Pangkey dan pelatih Benny Tandiono. Saya dikasih pekerjaan dan bertanding untuk Jawa Timur. Saya umur 26 menjabat asisten manajer perusahaan taksi. Itu taksi meter pertama di Surabaya.
11. Untuk bisa menjadi petinju olimpiade, apa saja yang harus dilakukan?
Dulu dipilih. Sekarang dia harus melewati Pra Olympic. Kalau dia kalah di babak kualifikasi ya sudah. Tidak usah mengkhayal olimpiade. Latihan lagi.
12. Mungkinkah petinju Indonesia bisa meraih medali di olimpiade mendatang?
Usahkan dulu. Masak nggak bisa sih. Korea dan Jepang bisa.
Kita dari dulu medali perunggu saja belum dapat. Tinju kita terlalu jauh ketinggalannya. Harus ada perubahan. Kalau pembinaannya tanggung tidak akan berhasil. Jangan mengkhayal. Harus total.
13. Ketika memilih pensiun dari tinju, apa yang ada di dalam pikirkan Anda?
Tidak memikirkan apa-apa. Jalani saja dan ternyata tidak ke mana-mana. Dari dulu sampai sekarang ya di situ-situ juga. Tetap setia di sekitar tinju.
14. Setelah pensiun dari tinju, apa saja yang dilakukan?
Saya mempunyai dua anak laki-laki (Almarhum Dastesa Moniaga dan Arenaldo Moniaga, sekarang menetap di Bali). Keduanya saya latih dan lumayan bisa sampai juara PON. Tingkat internasional juga lumayan. Arenaldo bisa medali perak Asia.
Tapi itu sudah lewat. Lupakan saja. Saya tetap sebagai pelatih tinju.
15. Pertanyaan terakhir. Mengapa tidak memilih tinju pro?
Pada waktu itu tinju amatir lebih hidup. Sedangkan tinju pro baru mulai dan masih menyisahkan kesan tinju pasar malam. Bayarannya murah.
Tinju pro mulai bangkit setelah Ellyas Pical muncul sebagai juara dunia. Elly menjadi juara dunia pertama dari Indonesia (setelah menjatuhkan Ju-doo Chun, KO ronde ke-8 dari 15 ronde yang direncanakan di Istora Senayan, Jakarta, Jumat, 3 Mei 1985).
Ketika Elly juara dunia, saya sudah selesai tinjunya. Sudah hampir 36. Bisa bikin apa kalau sudah segitu, makanya saya tidak sempat memilih tinju pro.
Setelah pensiuan dari tinju, saya masih sempat sebagai pelatih tinju pro untuk Azaddin Anhar. Kita berdua pergi ke Amerika. Latihan di sana dan membawa Azaddin bertanding di Meksiko. Saya juga pernah menjadi promotor untuk pertandingan kejuaraan dunia IBF Nico Thomas. Itu di Istora Senayan, tahun 1989.
Jangan lewatkan wawancara Olympian Indonesia Syamsul Anwar Harahap, tayang Rabu, 12 Januari 2022.