Rondeaktual.com – Oleh Finon Manullang
Frans van Bronckhorst, 72 tahun, adalah petinju Indonesia yang bertanding dalam kelas welter Olimpiade XXI/1976 Montreal, Kanada. Di Montreal, Frans bersama Syamsul Anwar Harahap, yang bertanding di kelas welter ringan.
Frans dan Syamsul kembali ke Tanah Air tanpa medali. Sampai sekarang belum ada petinju Indonesia yang merebut medali dari olimpiade. Bahkan Olimpiade Tokyo 2021 yang penyelenggaraannya ditunda setahun, tidak ada petinjuIndonesia yang bertanding.
Frans dikenal 100% di amatir. Mulai dari petinju sampai mengundurkan diri, selalu memberikan hidupnya untuk tinju amatir.
“Saya tidak pernah berpikir masuk tinju pro,” kata Frans VB, kelahiran Bandung, 2 April 1949. Berikut 15 wawancara Frans VB, tahun lalu.
1. Siapa orang pertama yang menyuruh Anda berlatih tinju?
Siapaaaaa ya? Rasanya nggak ada. Saya pergi sendiri ke RBC.
RBC itu singkatan dari Rajawali Boxing Camp. Itu di Sukajadi, Bandung. Saya kan tinggal di Bandung. Di sana jumpa pelatih Agus Salim dan Rohim.
Barangkali Agus Salim melihat talenta saya. Terus dia panggil saya. Bicara sebentar dan dia suruh supaya saya pindah ke Garuda.
Loh, kok gitu. Rupanya di sana lebih bagus. Ya sudah, saya pergi latihan di Garuda dan jumpa pelatih Lim Ong.
2. Siapa saja pelatih yang pernah membimbing sebagai petinju, barangkali masih ingat.
Banyak ya. Seingat saya selain nama yang di Bandung, ada Tofiq di Pertamina Jakarta.
Masuk Pertamina tujuan saya sasana tinjunya, bukan kerja. Saya suka tinju dan waktu itu belum suka kerja.
Saya dipanggil oleh salah satu kepala devisi. Saya ditanya dan saya bilang saya mau pindah ke Jakarta, supaya bisa latihan lebih kuat, tapi saya tidak punya pekerjaan. Di situlah saya dikasih pekerjaan. Saya bertinju untuk Pertamina dan bekerja untuk Pertamina, sampai pensiun.
Tahun 2005 saya pensiun. Setelah pensiun dan terlebih di tahun-tahun seperti sekarang musim COVID-19, saya sudah tidak ada kegiatan. Apalagi sejak tahun 2013 saya sudah hidup dengan alat pacu jantung. Sudah tidak bisa yang berat-berat lagi.
3. Siapa lawan pertama, bertanding di mana, dan siapa pemenangnya.
Tidak ingat. Waktu semifinal (kelas welter ringan) PON (VII/1969) Surabaya, saya kalah melawan Wongso Suseno (Jawa Tmur). Saya medali perunggu. Wongso medali emas. Itu sangat saya ingat.
Pada tahun 70-an, mungkin pernah dengar, ada pertandingan besar di Lapangan Ikada, Jakarta, dengan system 6-2-1 (6 ronde kali 2 menit dan istirahat 1 menit).
Saya main dua kali, mengalahkan Jootje Waney (Sulawesi Selatan, juara kelas ringan PON VII/1969 Surabaya) dan mengalahkan Johanes Latumahina (DKI Jakarta, juara kelas welter PON VII/1969 Surabaya).
Saya dipanggil masuk Pelatnas. Waktu itu saya belum juara, cuma juara 6 ronde.
Di Pelatnas ada pelatih Benny Tandiono dari Jawa Timur. Kita persiapan Kejuaraan Asia 1970 di Manila, Filipina.
Pelatnas lima petinju. Ada Abidin (Jawa Timur, kelas 48 kilogram), Idwan Anwar (DKI Jakarta, kelas 54 kilogram), Jootje Waney (Sulawesi Selatan, kelas 60 kilogram), saya (Frans VB, DKI Jakarta, kelas 67 kilogram), dan Boy Bolang (DKI Jakarta, kelas 71 kilogram).
Semua gagal medali, kecuali Idwan Anwar medali perak. Boy Bolang tidak jadi ikut.
4. Ketika kalah dan ketika menang, bagaimana rasanya?
Menang sudah pasti senang. Kalah tidak terima. Kok gua kalah. Ini nggak bisa. Kita berontak. Melawan dan ini perlu untuk memacu semangat agar lebih giat lagi dalam latihan. Setiap kekalahan harus kita terima di atas ring. Tetapi di dalam hati harus kita tolak. Ketika kita menolak kekalahan itu, di situlah muncul keinginan yang lebih besar terus berlatih.
5. Siapa petinju Indonesia yang pernah menjadi lawan terberat Anda?
Tidak ada. Waktu saya kalah melawan Wongso, kalahnya tidak parah. Saya bisa menjatuhkan lawan hanya dengan jab. Di situlah orang-orang tahu kalau Frans VB punya jab yang cepat dan keras. Dengan serangan jab, saya pernah menjatuhkan lawan.
Di sini saya mau sampaikan bahwa masing-masing petinju seharusnya mempunyai spesialisasi, sehingga dia disegani di kelasnya. Seorang petinju harus punya killing punch. Harus punya pukulan mematikan. Syamsul Anwar Harahap contohnya, terkenal dengan gaya bulldozer. Frans VB terkenal karena jab-straight.
6. Ketika menjadi juara, bonus apa saja yang pernah diterima?
Tidak ada bonus. Kalaupun ada sekedar saja. Era kami dulu dengan era sekarang beda. Tidak bisa disamakan. Bagi atlet yang menerima bonus itu bagus. Nikmati sebaik-baiknya untuk masa depan. Jangan dihambur-hamburkan. Ingat juga, jangan sampai besar kepala. Besar kepala itu akan membuatmu cepat habis. Tetap rendah hati dan itu jauh lebih bagus.
7. Bagaimana menjadi wakil Indonesia di olimpiade?
Kalau saya dulu prestasi. Kejuaraan Asia dan kejuaraan lainnya. Dulu belum ada pra kualifikasi. Sekarang untuk bisa tampil di olimpiade dia harus melewati pertandingan pra olympic. Tantangan sekarang cukup berat, tetapi tantang di masa lalu juga jauh lebih berat.
8. Ketika tiba di olimpiade, bagaimana rasanya?
Bangga. Tidak ada kebanggaan yang lebih besar selain olimpiade.
Semua ada di sana. Namanya juga olimpiade, sudah pasti yang terbaik. Olimpiade Montreal diikuti petinju top dunia. Ada Ray Leonard (Amerika Serikat, juara kelas welter ringan) dan bintang kelas berat Kuba, Theofilo Stevenson. Dia medali emas.
9. Ketika gagal meraih medali di olimpiade, bagaimana rasanya?
Olimpiade menyisahkan banyak kenangan. Salah satu yang paling saya ingat adalah kekalahan.
Pada babak pertama saya mendapat bye. Berikutnya ketemu Austria (Robert Dauer), langsung kalah. Akhirnya dia tersingkir dan yang juara di kelas welter Olimpiade Montreal itu adalah Jerman Timur (Jochen Bachfeld, yang dalam final mengalahkan Pedro Garmarro dari Venezuela).
Waktu ikut Olimpiade Montreal, persiapan bagus tapi saya ada sedikit sisa trauma cidera tangan. Saya baru sembuh dari operasi patah tangan kanan.
10. Setelah tiba di Indonesia dari olimpiade, apa yang ada dalam pikiran Anda?
Pulang olimpiade umur sudah 27. Saya pikir saya harus bangkit. Saya masih ingin berprestasi.
Saya ikut Kejuaraan Asia 1977 Jakarta. Saya main kelas welter dan menyesal tidak menghasilkan apa-apa.
Kejuaraan Asia di Jakarta menghasilkan dua medali emas untuk Indonesia, melalui Syamsul Anwar (Harahap, kelas welter ringan) dan Benny Maniani (kelas berat ringan).
11. Untuk bisa menjadi petinju olimpiade, apa saja yang harus dilakukan?
Disiplin. Ini yang pertama. Tanamkan disiplin sejak dini. Disiplin bisa dilihat dari cara dia bangun pagi. Kalau bangun pukul tujuh, berarti dia malas. Orang malas akan susah untuk mengejar prestasi. Sebaiknya hindari menjadi orang malas. Malas harus dilawan, jangan dibiarkan.
12. Mungkinkah petinju Indonesia bisa meraih medali di olimpiade mendatang?
Mungkin saja. Kemarin (Asian Games XVIII/2018 di Kemayoran), saya berharap ada medali emas. Ternyata hanya perunggu (melalui Sunan Amoragam kelas bantam dan Huswatun Hasanah kelas ringan putri).
Sudah berapa kali ini tidak ada petinju Indonesia yang bertanding di olimpiade. Olimpiade berlalu tanpa petinju Indonesia. Bagi saya, atau bagi siapa saja, itu menyedihkan. Ini harus dihentikan. Maksud saya, harus ada petinju Indonesia yang tampil di olimpiade mendatang.
Saya kira pelatnas butuh perubahan. Harus dirombak.
13. Ketika memilih pensiun dari tinju, apa yang Anda pikirkan?
Saya ingin menurunkan pengalaman yang saya miliki kepada adik-adik tinju.
Saya sempat menjadi pelatih. Membawa petinju Indonesia bertanding sampai ke olimpiade.
Sayang ya hasilnya gitu-gitu saja (kalah). Kita ingin yang terbaik, mendapatkan medali dari ring olimpiade. Dari dulu medali perunggu saja belum terkejar. Kita selalu kalah, kalah, dan kalah lagi.
Pesan saya jangan menyerah. Latihan ditingkatkan lagi. Jangan dilepas. Tinju harus ditekuni dengan serius. Kalau latihannya sudah maksimal, pasti bisa.
14. Setelah pensiun dari tinju, apa saja yang Anda lakukan?
Pertama pensiun dari tinju, pada umur tiga puluhan, saya terjun sebagai pelatih. Saya aktif di berbagai kegiatan dan saya masuk organisasi Pertina.
Saya Bidang Binpres. Waktu itu ada pelatnas jangka panjang dan itu hanya pernah terjadi pada era Pak Nono Sampono.
Setelah Pertina tidak dipegang beliau, pelatnas jangka panjang hilang. Seharusnya Pertina berpikir bahwa pelatnas jangka panjang itu sangat penting.
Saya melihat jenjang prestasi terlalu jauh. Hendrik (Simangunsong) juara Asia tahun 1991, sampai sekarang sudah 30 tahun belum ada juara Asia. Kalau lahir juara Asia baru, itu dapat membangkitkan prestasi tinju amatir. Pembinaan di daerah bertambah semangat. Juara itu dilahirkan dari daerah.
15. Pertanyaan terakhir. Mengapa tidak memilih tinju pro?
Tinju pro? Mana mungkin saya masuk tinju pro.
Saya tidak pernah berpikir masuk tinju pro, sebab saya bekerja di Pertamina.
Di Pertamina, dahulu banyak pengurus Pertina di sana. Kalau saya masuk pro, berarti saya harus keluar dari Pertamina. Saya tidak mau kehilangan pekerjaan.
Ikuti terus wawancara Olympian Indonesia berikutnya; Irjen Pol Johni Asadoma, yang akan tayang pada hari Rabu, 19 Januari 2022, hanya di Rondeaktual.com.