Rondeaktual.com – Oleh FinonManullang
Tadi malam, Selasa, 18 Januari 2022, saya menghubungi Olympian Indonesia Irjen Pol Drs Johni Asadoma dan bertanya tentang kegiatan sekarang.
“Saya sedang di rumah, di Jakarta,” kata mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina) Johni Asadoma.
Jenderal Polisi bintang dua itu menjelaskan, sudah melepaskan kegiatan Pertina. “Saya biasa di kantor dan selalu mengikuti berita tinju. Saya kan masih ikut (komentator tinju dunia di tvOne), walaupun belakangan ini jarang tampil,” kata Johni Asadoma, Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri.
Irjen Pol Drs Johni Asadoma. M.Hum, lahir di Denpasar, Bali, 8 Januari 1966. Pada Olimpiade XXIII/Los Angeles 1984, Johni bertanding di kelas bantam 54 kilogram. Johni harus berjuang menurunkan berat badan dari kelas 60 kilogram ke 54 kilogram.
“Di Olimpiade Los Angeles, ada juga Alexander Wassa (kelas bulu 57 kilogram) dan Fransico Lisboa (kelas welter 67 kilogram). Kita tiga petinju,” ujar Johni Asadoma. “Ketika umur 19, saya mundur dari Pelatnas dan memilih masuk Akabri.” Berikut petikan wawancara Johni Asadoma di ruang Kadiv Hub Inter Polri, Jakarta, tahun lalu.
1. Siapa orang pertama yang menyuruh berlatih tinju?
Tidak ada. Di lingkungan tempat saya tinggal di Kupang, banyak sasana tinju. Senior-senitor saya di kampung waktu itu banyak yang juara di Kupang. Saya sering nonton mereka latihan. Sering nonton mereka bertanding. Akhirnya muncul niat untuk berlatih tinju. Itu awal cerita mengapa saya mendalami olahraga tinju.
2. Siapa saja pelatih yang pernah membimbing, barangkali masih ingat.
Orang pertama yang melatih teknik secara sungguh-sungguh adalah almarhum David Radja (mantan Bidang Wasit/hakim PP Pertina). Beliau mantan petinju NTT, mantan wasit, dan salah satu tokoh tinju Indonesia yang cukup disegani. Almarhum David Radja punya pengaruh besar di lingkungan Pertina.
Kakak saya petinju seorang petinju. Saya sering melihat kakak latihan. Ikut melihat keringan bercucuran. Kakak saya sangat semangat sekali. Itu sangat memotivasi.
Pelatih saya lainnya antara lain, di Pelatnas saya bersama pelatih Pak Daniel Bahari, Pak Asriel Gootje, Pak Kuntadi Djajalana, Bung Carol Renwarin. Itu nama-nama besar yang pernah melatih saya.
3. Siapa lawan pertama, bertanding di mana, dan siapa pemenangnya.
Lawan pertama Reni Batu. Saya main di kelas terbang ringan 48 kilogram. Naik ring pertama penonton banyak. Saya grogi. Saya masuk main hajar tidak pakai teknik. Akhirnya saya kalah.
4. Ketika kalah dan ketika menang, bagaimana rasanya.
Kalah pertama biasa-biasa saja. Kalau menang sudah pasti gembira. Di Kejurnas Senior (sekarang elite) Semarang 1982, saya masih umur 16 dan merebut medali perunggu. Saya kalah di semifinal melawan petinju kawakan saat itu, Azaddin Anhar.
5. Siapa petinju Indonesia yang pernah menjadi lawan terberat?
Tidak ada. Mungkin kalau mau dibilang lawan berat almarhum Mika Tobing.
Di Surabaya 1983, saya kalah melawan Mika dan dapat perunggu. Kejurnas Pra PON Lampung 1984, saya balas mengalahkan Mika dan medali emas. Mika seorang petinju yang bagus. Saya bangga bisa mengalahkan Mika, waktu itu.
6. Ketika menjadi juara, bonus apa saja yang pernah diterima?
Saya tidak pernah dapat bonus besar. Baik juara SEA Games dari Pemerintah dan juara nasional dari Pemerintah Daerah.
Waktu itu seingat saya ada bonus dari Pak Dali Sofari sebagai tim manajer cabor tinju SEA Games. Lupa, kayaknya sekitar lima ratus ribu.
Tidak ada dapat rumah. Jadi kita juara ya juara saja. Pulang ke Tanah Air dan kembali ke daerah masing-masing. Sudah selesai.
Tidak seperti sekarang bonus ratusan juta. Tapi lantaran ini hobi, kita tidak tuntut. Waktu itu alamnya memang begitu.
7. Bagaimana bisa menjadi wakil Indonesia di olimpiade?
Waktu itu saya ikut President`s Cup (VII/1984). Itu pertandingan sangat bergengsi. Saya merebut medali emas kelas ringan. Saya mengalahkan empat petinju asing; Kuwait, Australia. Australia ini istimewa. Dia mengalahkan Mika Tobing. Orang pikir saya pasti kalah, tapi saya bisa menang mutlak. Pada pertandingan ketiga saya menang atas petinju Korea dan terakhir di final mengalahkan petinju Nepal.
Rupanya President`s Cup salah satu kejuaraan yang diakui AIBA sehingga menjadi rujukan kualifikasi olimpaide.
Itulah sejarahnya, kita sebagai perwakilan Indonesia di Olimpiade Los Angeles 1984.
8. Ketika tiba di olimpiade, bagaimana rasanya?
Waktu ditunjuk ikut olimpiade saya sedang ikut tes Akabri. Saya lulus tingkat pusat. Tinggal mau berangkat ke Magelang, tapi dipanggil ikut olimpiade.
Saya bingung. Ini masa depan juga. Kesempatan mungkin tidak terulang. Karena saya masih muda, 18 tahun, masuk Akabri masih bisa tiga kali lagi, saya putuskan ikut olimpiade.
Sampai di olimpiade rasanya sangat senang. Bangga luar biasa. Olimpiade itu impian semua atlet. Setiap petinju seabiknya bercita-citalah menuju olimpiade.
9. Ketika gagal meraih medali di olimpiade, bagaimana rasanya?
Tidak puas. Untuk olimpiade saya diminta main di kelas bantam 54 kilogram. Saya harus turun 7 kilogram, karena berat saya 61 waktu itu.
Saya bilang, saya tidak mampu terlalu banyak turun. Pelatih bilang: “Saya yakin kamu mampu karena kamu disiplin.”
Ya sudah, saya ikut saja. Saya berjuang untuk bisa bertanding di kelas bantam.
10. Setelah tiba di Indonesia dari olimpiade, apa yang ada dalam pikiran?
Dalam pikiran saya, saya harus masuk Akabri lagi. Saya harus tes Akabri kemudian dipanggil masuk Pelatnas untuk Asia di Surabaya. Seharusnya November 1984 tapi geser April 1985.
Maret sudah mulai ada tes Akabri. Akhirnya saya memilih mundur dari Pelatnas, tapi masih sempat ikut President`s Cup dan kalah di babak kedua.
11. Untuk bisa menjadi petinju olimpiade, apa saja yang harus dilakukan?
Kalau sekarang harus lolos kualifikasi olimpiade. Indonesia sudah empat kali gagal mengirim petinju. Kita kosong di Olimpiade Beijing, Olimpiade London, Olimpiade Rio de Janeiro, dan Olimpiade Tokyo.
Petinju Indonesia terakhir yang bertanding di olimpiade adalah Bonyx Saweho, dari Sulawesi Utara. Bonyx tampil di Olimpiade Athena 2004. Itu yang terakhir.
Saya sangat berharap ada petinju Indonesia yang bisa bertanding di olimpiade mendatang. Saya juga berharap agar petinju Indonesia bisa membuat sejarah dengan merebut medali dari olimpiade.
12. Mungkinkah petinju Indonesia bisa meraih medali di olimpiade mendatang?
Mungkin saja, yang penting persiapan. Semua harus bagus, termasuk pelatih.
Kita butuh pelatih asing dan itu akan membuka kemungkinan petinju kita bisa tampil di olimpiade.
13. Ketika memilih pensiun dari tinju, apa yang dilakukan?
Waktu itu banyak yang menyesal atas keputusan saya meninggalkan tinju. Diiming-iming supaya saya tetap tinju. Saya bilang tidak bisa. Saya harus memikirkan masa depan. Saya ingin sekolah. Terutama sekolah di Akabri. Tahun lalu sudah tertunda. Saya putuskan mundur dari Pelatnas, di umur 19.
Saya tinggalkan dunia tinju, yang sudah membesarkan nama saya. Saya masuk Akabri. Itu pilihan.
Saya sekolah, berdinas, dan sekarang menduduki jabatan bintang dua di Mabes Polri. Masa depan itu sangat penting.
14. Setelah pensiun dari tinju, apa saja yang dilakukan?
Saya menjalankan tugas kepolisian dan aktif dalam kegiatan tinju. Ikut menyelenggarakan pertandingan, di setiap daerah saya bertugas. Saya ikut ujian wasit/hakim Asia di Pulau Bantam dan lulus. Semua sudah saya ikuti dan saya berterima kasih untuk tinju.
15. Pertanyaan terakhir. Mengapa tidak memilih tinju pro?
Waktu itu sudah ada tawaran masuk tinju pro, setelah pulang dari Olimpiade Los Angeles. Sudah ada yang menjelaskan bahwa tinju pro itu sangat menjanjikan.
Saya pikir itu betul. Tetapi saya lebih memikirkan sekolah. Saya harus ikut tes Akabri. Tawaran masuk tinju pro saya abaikan.
Ikuti terus Wawancara Olympian Indonesia berikutnya, Ilham Lahia dari Sulawesi Utara. Tayang Minggu, 23 Januari 2022.