Rondeaktual.com – Oleh Finon Manullang
Saya pertama kali melihat Nemo Bahari latihan tinju seorang diri di belakang rumahnya yang luas dan bertingkat (lantai atas sengaja ditutup gelap sebagai usaha sarang burung wallet), di Desa Peguyangan, Denpasar, Bali, tahun 1988. Di tahun itu, Nemo berusia 13 tahun.
Dua tahun kemudian, Oktober 1990, saya pergi meliput Kejurnas Senior (sekarang Kejurnas Elite) di GOR Ngurai Rai, Denpasar. Partai semifinal kelas terbang antara Nemo Bahari (Bali) melawan Nelson Oil (Nusa Tenggara Timur), berlangsung 30 Oktober 1990. Nelson mematahkan langkah Nemo maju ke final.
Ketika itu saya berstatus wartawan untuk harian nasional di Surabaya, Jawa Timur. Tahun itu merupakan era emas yang tidak akan terulang kembali dalam karir jurnalistik saya. Perusahaan pers tempat saya bekerja selalu membuka izin untuk meliput pertandingan tinju.
Nemo Bahari lahir di Denpasar, Bali, 23 Maret 1975. Nemo bertanding di kelas bulu, saat tampil di Olimpiade XXVI/1996 Atlanta.
Nemo bersama tiga petinju lainnya (La Paene Masara, Hermensen Ballo, dan Hendrik Simangunsong) kembali ke Tanah Air tanpa medali. Para senior Nemo, yang pernah bertanding di olimpiade sebelumnya, tidak ada yang memenangkan medali. Semua pulang dengan tangan hampa. Bahkan tidak sedikit yang mendapat julukan “petinju turis” alias datang langsung gugur.
“Di atas kertas saya bisa menang. Tapi barangkali ada factor lain,” kata Nemo. “Tuhan itu ada. Tuhan itu punya rencana. Semua itu sudah rencana Tuhan.” Berikut Wawancara Olympian Indonesia Nemo Bahari.
1. Siapa orang pertama yang menyuruh Anda berlatih tinju?
Beliau lah (Daniel Bahari, ayahanda Nemo Bahari, yang tanggal lahirnya sama 23 Maret). Dari kecil sudah diarahkan untuk tinju. Sasana tinju di rumah sendiri. Kami tumbuh dan berkembang sudah seperti itu. Nuansa tinjunya kental.
Tanpa disuruh. Tanpa dipaksa. Sudah begitu hawanya. Hawa tinju. Bergaul dengan mereka, dengan orang-orang tinju. Otomatis dengan melihat dan meniru mereka latihan tinju, kita terbawa. Apalagi Beliau mengajak kami kalau lari ke luar. Kita dikondisikan seperti itu. Motivasi yang luar biasa.
2. Siapa saja pelatih yang pernah membimbing sebagai petinju, barangkali masih ingat.
Selain Beliau, ada Om Sutan Rambing, Om Jimmy Sinantan, Om Ferry Moniaga, Om Johny Riberu, Trotman dari Kuba.
3. Siapa lawan pertama bertanding di mana, dan siapa pemenangnya.
Siapa namanya, kapan dan di mana sudah lupa. Tapi masih ingat waktu ikut Pra Kejurda. Ikut seleksi. Lawan besar semua. Sudah senior dan aku baru 14. Waktu itu sudah juara Bali dan Nusa Tenggara. Tanding sampai ke Timor Timur dan menang.
Di umur itu (15 tahun) aku bertanding melawan salah satu petinju kelas terbang paling kuat, Nelson Oil. Dia dari NTT. Aku kalah (dalam semifinal kelas terbang Kejurnas Senior di GOR Ngurah Rai Denpasar, 30 Oktober 1990).
4. Ketika kalah dan ketika menang, bagaimana rasanya?
Pertama kalah di tangan Nelson Oil, di Kejurnas Bali. Dia kuat dan masih di atas ketika itu. Kita main habis-habisan. Pertarungan yunior versus senior. Aku kalah. Rasanya ya begitulah. Tidak puas, heeeee.
Kalau menang pasti senang. Bisa memberikan yang terbaik. Bangga keluarga dan orangtua.
5. Siapa petinju Indonesia yang pernah menjadi lawan terberat?
Victor Ramos. Itu di PON (XIII/1993 Jakarta). Babak pertama aku kalah sama dia. Aku tersingkir. PON berikutnya (XIV/1996) di babak ke dua aku kalahkan dia. Rasanya senang bisa menebus kekalahan.
6. Ketika menjadi juara, bonus apa saja yang pernah diterima?
Bonus itu urusan Almarhum (Daniel Bahari). Semua saya serahkan kepada Beliau. Dari awal ya begitu. Kita diajari fukos latihan. Tidak memikirkan bonus dan itu yang membuat latihan lebih hidup.
7. Bagaimana bisa menjadi wakil Indonesia di olimpiade?
Bisa menjadi wakil Indonesia di olimpiade, siapa pun dia dan dari cabor manapun dia, itu sesuatu yang hebat.
Saya menjadi wakil Indonesia di Olimpiade XXVI/1996 Atlanta bersama tiga lainnya (La Paene Masara kelas 48 kg, Hermensen Ballo kelas 51 kg, Hendrik Simangunsong kelas 71 kg). Semua melalui pra kualifikasi. Jelas itu bukan perjalanan yang gampang.
Saya featherweight (kelas bulu). Menuju Olimpiade Atlanta melalui Tashkent (Kejuaraan Asia XVIII, Tashkent, Uzbekistan, 1-8 Oktober 1995).
Di Tashkent, saya merebut medali perak (dalam final kalah melawan petinju Kazakhstan, Bakhtiyar Tyleganov). Itu modal saya pergi ke olimpiade.
Kejuaraan Asia itu dikuasai Kazakhstan. Mereka merebut enam medali emas dan Uzbekistan tiga medali emas. Indonesia hanya merebut satu medali perak melaui saya.
8. Ketika tiba di olimpiade, bagaimana perasaan Anda?
Bangga. Inilah yang dibilang level tertinggi. Saya sudah berkompetisi di ajang tertinggi. Sudah sampai puncak. Di sana semua petinju terbaik bertanding. Best of the best.
Bisa lolos olimpiade merupakan pengalaman yang hebat. Sangat bangga. Ketika itu saya umur 21, mendapat kepercayaan tampil di olimpiade. Semangat sekali. Sepanjang latihan saya tunjukkan yang terbaik. Ini kesempatan.
9. Ketika gagal meraih medali di olimpiade, bagaimana rasanya?
Itu titik terendah dalam karir saya. Ini kegagalan yang tak terduga. Di atas kertas bisa menang. Dia (Rogelio de Brito, Brasil) sudah 30. Sudah tua. Saya 21. Tapi itulah, factor lain barangkali. (De Brito menang 12-3 atas Nemo).
Tuhan itu ada. Tuhan punya rencana. Semua itu sudah rencana Tuhan dan saya sangat percaya. Dengan tegar, saya terima kekalahan itu.
10. Setelah tiba di Indonesia dari olimpiade, apa yang ada dalam pikiran Anda?
Pikiranku bagaimana supaya bisa mempersembahkan medali emas yang terakhir untuk daerahku, Bali. Sebelum menggantungkan sarung tinju aku ingin berbuat yang terbaik.
Saya tetap memenuhi keingan tersebut dengan merebut medali emas PON XIV/1996 Jakarta. Sebelum juara PON, harus melewati petinju kelas bulu terbaik seperti Royke Waney (Sulawesi Utara), membalas kekalahan atas Victor Ramos (Timor Timur), Ramses Nainggolan (Lampung), dan terakhir di final mengalahkan Franky Hamadi (Maluku).
Setelah itu saya terpanggilan masuk pendeta. Hamba Tuhan.
11. Untuk bisa menjadi petinju olimpiade, apa saja yang harus dilakukan?
Qualification. Dia harus mengikuti pertandingan pra Olympic. Saya bisa ikut Olimpiade Atlanta karena lolos dari situ (qualification).
12. Mungkinkah petinju Indonesia bisa meraih medali di olimpiade mendatang?
(Tertawa, lama). Tidak tahu juga ya. Dari pengamatanku di level daerah, saya adalah pelatih Tim Badung (Pengkab Pertina Badung). Aku lihat politik itu kuat sekali. Prestasi dihambat karena ada unsur politik. Kita yang di lapangan pegang sasana, urus petinju, cari kerja untuk petinju, tapi kita terhambat birokrasi dan politik. Itu tidak baik untuk kemajuan olahraga.
Aku pikir kita tidak akan bisa maju seperti negara lain. Apalagi dengan Kuba. Mereka serius mengurus olahraga.
13. Ketika memilih pensiun dari tinju, apa yang dipikirkan?
Di satu sisi ada rasa kecewa. Ingin terus bertinju tapi ini panggilan jiwa, sebagai hamba Tuhan.
Jujur saja, saya kasihan sama orangtua. Sama keluarga. Beliau (Daniel Bahari) berkorban demi tinju sampai tinggalkan pekerjaan. Tinggalkan rumah.
14. Setelah pensiun dari tinju, apa saja yang dilakukan?
Pelayanan. Saya merintis karir pendeta dari yang paling bawah. Sekarang sering ke luar kota. Tugas melayani.
Seorang gembala gereja harus mendemonstrasikan iman, pengharapan, dan kasih sehingga menjadi teladan yang baik bagi jemaat gereja.
15. Pertanyaan terakhir. Mengapa tidak memilih tinju pro?
Sebenarnya sih ingin masuk tinju pro. Tapi sudah panggilan jiwa ya sudah lah. Aku turun. Berhenti tinju sudah pilihan sendiri.
Tinju pro kita sempat naik, setelah Chris John juara dunia. Datang lagi M Rachman.
Adik kami (Daudy Bahari) sempat punya gelar PABA (Asia dan Pasifik) tapi berhenti.
Sekarang yang masih terkenal Daud Yordan dari Kalimantan Barat. *
Ikuti terus Wawancara Olympian Indonesia berikutnya, terakhir Bonyx Saweho dari Sulawesi Utara.
Finon Manullang
Menulis dari Desa Tridaya, Jawa Barat.
[youtube-feed]