Rondeaktual.com – Finon Manullang
Tinton Soeprapto, 76 tahun, adalah promotor tinju pertama yang menggelar pertandingan di tengah jalan, di depan rumahnya di Bintaro, Jakarta, lebih 32 tahun yang lampau.
Tinton, kelahiran Blitar, 21 Mei 1945, juga merupakan tokoh dan legenda balap Indonesia dan salah satu raja balap era Sirkuit Ancol. Tinton tak pernah berhenti dari dunia otomotif yang melambungkan popularitasnya. Sampai sekarang dan bersama Hutomo Mandala Putra atau populer dengan sebutan Tommy Soeharto, tercatat sebagai Badan Pembina Ikatan Motor Indonesia (IMI).
Tinton, ayahanda pembalap Ananda Mikola dan Moreno Soeprapto, sangat terkenal dengan sejumlah gagasan besarnya menyelenggarakan pertandingan tinju di tempat yang belum pernah disentuh oleh promotor lain, seperti tinju di Gunung Bromo, tinju di tengah arena diskotek, di lapangan sepakbola, di hotel bintang lima, dan di dalam penjara.
Terlalu banyak yang telah dilakukan Tinton untuk kemajuan tinju Indonesia, yang dulu sangat glamour.
“Ayo, bangkitkan tinju. Mari kita sama-sama membangun kembali tinju di Indonesia. Saya siap terjun lagi sebagai promotor, seperti dulu. Siap turun gunung. Tetapi, saya minta jaminan, siapkan petinju yang berkualitas,” katanya.
Bicara tentang tinju bersama Tinton Soeprapto tidak akan ada habisnya. Pria yang selalu membawa kaca mata baca dan selalu dengan celana jins ini semangat sekali. Berikut petikan wawancara Tinton Soeprapto, tentang perjalanan masa lalunya sebagai promotor yang luar biasa.
Mas Tinton (saya sejak dulu selalu menyebut beliau sebagai Mas Tinton) masih suka dengan tinju?
Masih. Saya kan yang memulai adanya pertandingan tinju di jalanan. Saya bikin pertandingan di rumah (Bintaro), yang main nama besar Boy Bolang melawan Piet Gommies. Pak Solihin GP (Ketua Umum KTI Pusat) yang sekarang berada di Bandung, datang melihat. Pak Anwar, mantan Komandan Marinir, hadir.
Ada nggak orang yang punya duit bikin tinju di rumah, kan tidak ada. Kalau ada sepuluh Tinton Soeprapto, saya jamin tinju kita akan menghasilkan juara dunia.
Di Stadion Mattoangin, Makassar, Boy Bolang juga bertanding melawan Suwarno, petinju kelas menengah yang dari Surabaya. Di Delta Plaza (Surabaya), Boy Bolang main lagi lawan Solikin yang dari Gajayana Malang.
Semua yang bikin itu promotor Tinton Soeprapto. Supaya apa? Supaya tinju bersemangat.
Dulu, pernah menggelar pertandingan di Stadion Pahoman Bandarlampung, yang terkenal dengan kolaborasi tinju dan dangdut, mendatangkan ratu dangdut Elvy Sukaesih. Kira-kira, Mas Tinton masih ingat?
Tidak hanya Elvy Sukaesih. Vina (Panduwinata) naik ring di atas kolam renang Gajayana di Malang. Terus siapa lagi, itu penyanyi Apanya Dong (Euis Darliah) tampil di pertandingan tinju di Palu. Di Bandarlampung (15 Maret 1987), Pulo Sugar Ray yang dari Surabaya main lawan Filipina (Gerron Poras). Pulo menang dan merebut gelar WBC (International).
Mengapa tidak bikin tinju lagi, seperti dulu mendatangkan artis penyanyi top?
Dulu materinya ada. Kita punya petinju yang bisa dijual. Sekarang kita tidak punya. Mari kita sama-sama membangkitkan tinju Indonesia. Kasih saya petinju yang kelasnya seperti dulu, ada Nico Thomas (juara dunia IBF kelas terbang mini), Pulo Sugar Ray, Hengky Gun, Little Holmes, Wongso Suseno, Nurhuda, Little Pono, Jack Siahaya. Jack itu petinju kidal yang bagus. Enak ditonton.
Itu semua kan saya yang bawa. Saya bikin Nurhuda (kejuaraan WBC Junior melawan Filipina) di Sturdust (Discotheque, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta). Ada Yorriys (Raweyai), panitia, sangat mendukung.
Gelar WBC Junior itu pertama kali yang bikin Indonesia, saya promotornya. Seharusnya kita bisa lebih berkembang. Sebab juara WBC yunior itu hampir semuanya menjadi juara dunia WBC.
Kita sudah kehabisan petinju.
Saya tahu, makanya ayo Menpora dan insan tinju, terutama yang dari Indonesia timur. Mari melakukan pembinaan. Bakat tinju kita tidak akan kurang dari daerah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan juga daerah lain seperti Sumatera. Tolong siapkan calon petinju yang bisa kita angkat. Saya punya resepnya untuk mempromosikan mereka ke tingkat dunia.
Ingat dulu, Hengky Gun saya bawa bertanding ke Inggris. Waktu itu Pak A Seng juga ikut.
Kalau saya disuruh jalan, disuruh bikin pertandingan seperti dulu, saya tidak mau. Kasih dulu saya jaminan kalau kita punya petinju yang layak didorong. Ayo, kita tidak bisa mengandalkan satu orang. Menpora kita dan masyarakat tinju harus sepakat untuk membangun kembali masa jaya tinju Indonesia.
Dulu begitu, setiap sore kita ngumpul di Garauda Jaya. Ada Pak Gordon (Mogot), Pak Mulyadi, Pak Simson (Tambunan). Ada tim, yang bikin keroyokan sehingga bisa maju.
Dulu punya sasana tinju di Bintaro. Mas Tinton ikut mengurus juga?
Iya, Tonsco Boxing Camp, itu saya punya.
Nico Thomas berlatih di sana.
Bukan Nico saja, banyak. Ada Jack Siahaya, Johannes (Lewarissa), Manthen (Kasangke), Markus, masih banyak.
Kita yang mengantar Nico Thomas menjadi juara dunia (IBF kelas terbang mini, setelah mengalahkan juara Samuth Sithnaruepol pada tahun 1989). Waktu itu masih ada (pelatih) Charles Thomas, terus kita datangkan (pelatih) Abu Dhori dari Malang. Jadilah Nico Thomas juara dunia.
Tapi terlalu banyak yang mengurus, akhirnya tumbang (KO ronde kelima di tangan Erick Chavez asal Filipina). Mainnya di Lokasari, Gedung Basket.
Kita salah, kita tidak punya match maker yang bagus. Nico langsung dipertemukan dengan peringkat paling atas. Seharusnya diatur bagaimana agar Nico bisa mempertahankan gelar menghadapi lawan yang dipilih, bukan melawan penantang wajib. Nanti kalau sudah mempertahankan gelar beberapa kali, baru menghadapi penantang wajib.